Pemutaran Film Pulau Buru Tanah Air Beta Berjalan Lancar

Peristiwa564 Dilihat
Pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta berjalan lancar di Aula Fisip Unsoed Purwokerto, Senin (6/6). Dalam kesempatan tersebut digelar diskusi usai pemutaran film. (Purwokertokita.com)
Pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta berjalan lancar di Aula Fisip Unsoed Purwokerto, Senin (6/6). Dalam kesempatan tersebut digelar diskusi usai pemutaran film. (Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Kontroversi seputar penentangan organisasi kepemudaan terhadap pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta yang terjadi di beberapa tempat, ternyata tak terjadi di Purwokerto, Jawa Tengah.

Pemutaran film karya Rahung Nasution tersebut di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) berjalan lancar. Pemutaran film yang diselenggarakan Laboratorium Fisip Unsoed tersebut dilakukan sebagai usaha untuk meredakan polemik film tersebut dalam masyarakat.

“Ada beberapa sebab perlunya digelar pemutaran film ini, karena banyaknya sambutan dari masyarakat dan juga banyak kegaduhan yang ditimbulkan menyoal pemutaran film ini,” ujar Ketua Laboratorium Sosilogi, Haryadi sebelum pemutaran, Senin (6/6).

Sementara itu, Wakil Dekan III Fisip Unsoed, Ahmad Sabiq mengemukakan pemutaran film berdurasi 40 menit tersebut merupakan bagian dari mimbar kebebasan akademik di kampus. Sehingga, katanya, langkah tersebut cukup baik untuk mendewasakan pola pikir masyarakat dalam mempersepsikannya.

“Langkah ini bagus sekali, saya yakin penyelenggara acara ini tidak ada niatan untuk promosikan komunis. Karena persoalan tersebut yang ‘salah tangkap’ di kalangan masyarakat,” ujarnya.

Sabiq sendiri berkeyakinan dengan yang diungkapkan budayawan Franz Magnis Suseno yang menyatakan komunis sudah usang, sehingga tak perlu ditakutkan lagi. “Tak perlu dikhawatirkan lagi. Apalagi di dunia ini, tak ada negara yang terapkan ideologi ini,” ucapnya.

Dalam pemutaran tersebut, sekitar dua ratusan penonton dari kalangan mahasiswa, aktifis lembaga swadaya masyarakat, perwakilan tentara, polisi hingga pemerintah menonton dari awal pemutaran. Apresiasi diungkapkan usai pemutaran film yang mengisahkan tentang Hesri Setiawan yang bernostalgia mengenang masa penahanan di Pulau Buru.

“Setelah saya menyaksikan, ternyata dalam film ini, tidak tertangkap muatan kebangkitan komunis seperti yang ramai ditentang selama ini. Bagi saya, film ini hanya sebuah curahan hati seorang tahanan politik saja,” ujar pegiat lembaga swadaya masyarakat Banyumas, Setya Adri Wibowo.

Persepsi berbeda diungkapkan, pegiat Sekber ’65, Slamet Sp yang menilai ungkapan Hesri Setiawan dalam film dokumenter tersebut masih dalam batas koridor yang wajar. “Kalau melihat bicaranya Hesri, ternyata lebih keras anak kampus berbicara kritik kepada pemerintah,” ujarnya.

Dalam diskusi yang dilakukan usai pemutaran film, Sosiolog Unsoed, Sulyana Dadan mengaku sudah menonton film tersebut hingga tiga kali. Namun, ia mengemukakan belum mendapatkan bagian mana saja dalam film tersebut yang patut untuk diresahkan.

“Kalau saya malah berkeyakinan tayangan sinetron di televisi justru yang lebih menyeramkan dari film ini, seperti Ganteng Ganteng Serigala. Karena tidak mencerminkan budaya Indonesia,” ucapnya.

Ia juga mengemukakan film Pulau Buru Tanah Air Beta harus ditempatkan sebagai representasi sosial yang seharusnya. Menurutnya, representasi sosial tersebut bukan soal penggambaran masa lalu.

“Selama ini selalu muncul pemahaman bahwa representasi sosial kerap disamakan sebatas penggambaran saja, padahal representasi sosial adalah soal reproduksi makna,” ucapnya.

Persoalan ketidakadilan

Menurut Dadan, ada persoalan ketidakadilan di masa lalu yang terungkap dalam film tersebut. Sehingga, lanjutnya, saluran untuk menyuarakan ketidakadilan tersebut disampaikan melalui film tersebut.

“Ada persoalan mengenai tata kelola negara sebelum dan semasa orba. Dalam teori Struktural fungsional, tahanan politik dianggap negara sebagai eleman yang akan menebarkan benih konflik sehingga harus langsung dibungkam negara,” ucapnya.

Ia juga menilai, alih-alih merusak tatanan kebangsaan saat ini, justru dari film ini menunjukkan adanya bentuk cinta tanah air. Dadan mengemukakan, jika Hesri Setiawan tidak cinta tanah air, tidak mungkin napak tilas ke Pulau Buru.

“Bahkan yang lebih luar biasa, ketika si anak mengetahui perlakuan terhadap orang tuanya, justru si anak diberikan kepercayaan pandangan agar tidak melawan ketidakadilan dengan kemarahan,” ujarnya.

Sementara itu, pembedah lainnya, Tri Wuryaningsih yang mewakili unsur Pemuda Pancasila (PP) Banyumas menilai ada realitas ketidakadilan kehidupan bernegara.

Namun, ia berpendapat kepada para penentang pemutaran film tersebut, untuk menonton terlebih. “Saya berharap mereka yang menolak pemutaran film ini bisa menonton terlebih dahulu agar cerdas untuk menyikapinya,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan