Ngaji Jumat: Kyai ‘Rasa’ Doktor

Rehat519 Dilihat
Sekitar 500 santri Pondok Pesantren At Taujieh Al Islami 2, Leler, Randegan, Banyumas tengah mengikuti pengajian bersama Gus Anam di kompleks pesantren.  (Djito el Fateh/Purwokertokita.com)
Sekitar 500 santri Pondok Pesantren At Taujieh Al Islami 2, Leler, Randegan, Banyumas tengah mengikuti pengajian bersama Gus Anam di kompleks pesantren.
(Djito el Fateh/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Zaman dahulu, orang nyantri di pondok pesantren itu sampai belasan bahkan puluhan tahun. Entah itu 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun bahkan ada yang lebih. Ilmu yang dipelajari juga komprehensif alias komplit dan berjenjang. Mulai dari yang sederhana, dasar, hingga yang njlimet dan pengayaan wacana.

“Kalau dengar orang mondok 15 tahun, 25 tahun itu sudah biasa. Makanya, begitu pulang, santri itu sudah siap terjun di masyarakat dan matang secara keilmuan,” kata KH Zuhrul Anam Hisyam alias Gus Anam.

Karena keluasan ilmu tersebut, santri yang kemudian menjadi kyai -karena ‘diangkat’ oleh masyarakat- menjadi sosok yang mengayomi. Menjadi obor dan peneduh dari segala jenis kegaduhan dan persoalan masyarakat. Tidak hanya mulang ngaji, kyai juga menjadi ‘dokter’ orang yang minta ‘suwuk’, mediator pertikaian dua kubu, konsultan keluarga sakinah, dan tentu saja muara konsultasi berbagai persoalan agama.

“Saya pikir, kyai itu levelnya sudah seperti doktor (dalam pendidikan formal). Memperoleh gelar doktor, kalau dihitung sejak SMP, SMA, S1, S2, S3 kalau  terus menerus kan sekitar 14 tahun. Jadi, kalau mondok sejak umur SMP sampai 20 tahun ibaratnya sudah doktor,” kata Gus Anam lagi.

Kondisi berbeda, terlihat zaman sekarang. Tidak jarang, mereka yang baru belajar agama kemarin sore, sudah menjelma ‘yang benar sendiri’. Sudah begitu, hobinya menebar fitnah dan menyalahkan orang. Padahal kata Syaikh Hasan Al Yamani: Inna Thaliba al Ilmi Kullama Zada Fiqhuhu wa Nahdruhu fi al Madzahibi, Qalla Inkaruhu ala an Nasi.

“Artinya, Orang yang mencari Ilmu manakala semakin tambah pemahaman dan luas telaahnya, maka semakin jarang mengingkari atau menyalahkan orang lain,” kata Gus Anam nukil Sayyid Muhammad Al Maliki, dalam Kitab Minhaju as Salaf fi Fahmi an Nushush Baina an Nadzariyat wa at Thathbiq.

Tinggalkan Balasan