Mempromosikan (Sumanto) Sport Tourism Purbalingga

Rehat278 Dilihat
Spanduk penyambutan peserta Klawing Playon Sonten dengan tema “Lari Dikejar Sumanto”, terpasang di sekitar arena lomba, belum lama ini. (dok panitia/purwokertokita)

Purwokertokita.com – Beberapa hari ini, linimasa media sosial dihiasi dengan judul sebuah acara unik, tapi sekaligus tidak etis. “Lari Dikejar Sumanto”. Mengapa demikian?

Dilihat dari genrenya, ajang ini merujuk pada aktivitas yang dikenal dengan nama sport tourism. Atraksi wisata dalam kemasan “Klawing Playon Sonten” memang menjadi inovasi baru yang mampu mengangkat promosi pariwisata sebuah daerah. Tentu saja merupakan metode yang positif dan jarang dipikirkan.

Sekali lagi, Klawing Playon Sonten bisa dikembangkan sebagai event sport tourism yang menjadi ikon wisata Purbalingga. Sebagaimana Bali juga punya event tahunan lari Bali Marathon 10 K (Bali Ten K), lari maraton berjarak 10 kilometer yang selalu diikuti peserta dari berbagai negara.

Manajemen Perusahaan Daerah Owabong, komunitas pecinta olahraga lari serta pegiat lingkungan Sungai Klawing yang mendapat dukungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga dalam hal ini mampu mengemas ajang lari sore dengan sangat baik. Gambaran ciri khas event akan menjadi atraksi wisata yang sangat berbeda dengan daerah lain. Buktinya, peserta yang berminat mencapai lebih dari 800 orang.

Tetapi, saya kurang sependapat jika memanfaatkan ikon seorang “Sumanto”, meski panitia bermaksud mengangkat sisi humanis pria asal Desa Pelumutan, Kecamatan Kemangkon itu. Perlu dicatat, Sumanto mendapat stigma yang kelam di masa lalu. Namun jika sosok ini dikaitkan dengan even wisata, saya khawatir akan berdampak negatif pada promosi pariwisata Purbalingga secara keseluruhan.

Benar bahwa Sumanto adalah warga Purbalingga. Benar pula Sumanto pernah membuat geger dunia dengan aksi kanibalnya. Tapi, Sumanto kini pun sudah berubah. Iya!

Tapi alangkah lebih baiknya jika tidak dikaitkan, apalagi dijadikan sebagai satu ikon even wisata. Saya pikir inovasi dan kreativitas dalam menciptakan even wisata memang perlu, tapi patut mempertimbangkan kearifan lokal sebagai ciri khas atraksi wisatanya.

Pemkab Purbalingga bisa menemukan ikon lain yang lebih menonjolkan ciri khas daerah, ketimbang “menjual” stigma kelam Sumanto di masa lalu. Tagline “Lari Dikejar Sumanto” justru menimbulkan kesan ajang tersebut kurang serius, serta ketidaksiapan dalam menemukan kekhasan produk wisata yg hendak dipasarkan. Jangan sampai sosok Sumanto malah jadi objek lucu-lucuan. Sebab, hal itu akan membawa dampak negatif tentunya pada citra pariwisata Kota Perwira secara umum.

Sebetulnya, dengan mempromosikan wisata Purbalingga dengan ikon Gunung Slamet maupun produk knalpot saja, sudah dapat menggambarkan kekhasan yang berkaitan dengan promosi wisata. Perlu dicatat, pariwisata tidak pernah bebas nilai dan bebas makna. Selalu ada nilai sosial, budaya, moral, dan nilai kemanusiaan di dalamnya. Maka, biarkanlah Sumanto menjalani kehidupannya yang baru.

Penulis
Drs Chusmeru MSi

Pengamat Pariwisata dan
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsoed

Tinggalkan Balasan