Purwokertokita.com – Selepas isya, Woko dan Didi bergegas melaju dengan sepeda motornya yang uzur. Berbekal telepon seluler (ponsel) pintar, dua jomblo ceria yang tinggal di bilangan Purwokerto menyusuri jalan sempit di daerah Berkoh Purwokerto Selatan.
Tujuan mereka satu, Masjid Al Hidayah yang berada di bilangan Pancurawis Purwokerto Selatan. Bukan untuk beribadah, lantaran waktu Isya sudah lewat jauh.
“Tadi ada banyak eggs sama poke balls di teras masjid. Tapi karakter pokemonnya nggak kelihatan. Kayaknya, tadi ada di dalam masjid,” kata Didi yang berasal dari Kedungbanteng, Banyumas dengan semangat 1945.
Woko dan Didi menjadi duo pemain baru Pokemon Go di Purwokerto. Mereka baru saja memasang aplikasi permainan berbasis Global Postioning System (GPS) yang didapat dari kawannya.
Serupa dengan Woko dan Didi, riuh rendah kehebohan permainan aplikasi buatan John Hanke, ikut mewabah di kalangan jurnalis. Bermula ketika beberapa jurnalis usai meliput razia Pokemon Go yang dilakukan di salah satu sekolah favorit di Purwokerto.
“Sengaja pasang Pokemon Go supaya kita tahu juga, jangan asal menulis saja,” ujar salah satu jurnalis senior di Purwokerto, Liliek Dharmawan.
Sesekali, Liliek menyentuh layar ponsel pintarnya untuk memeriksa keberadaan karakter pokemon yang tersebar di beberapa titik di sekitar Purwokerto. “Di tower RRI (Purwokerto) ada tuh monster burung gede,” katanya.
Tak hanya Liliek, ‘percobaan’ untuk mengetahui permainan yang dikembangkan Perusahaan Niantic dengan berbasis GPS (Global Positioning System), ini juga perlahan menjadi viral. Tak mengenal berbagai usia, baik muda dan tua di Purwokerto pun menjadi wabah.
Evi misalnya, ibu rumah tangga asal Tanjung Purwokerto, mengaku kali pertama tidak mengetahui permainan yang bermula dari karakter kartun Jepang tersebut.
“Saya ingin pasang Pokemon Go supaya bisa bermain dengan anak karena dari kemarin, anak saya yang sudah kuliah bermain Pokemon Go,” katanya.
Tak seperti Evi, Nining yang memiliki anak usia sekolah dasar, justru tidak begitu tertarik dengan Pokemon Go. “Anakku minta dibeliin ponsel pintar baru buat main Pokemon Go, tapi buat apa lah,” ujarnya.
Polemik
Polemik Pokemon Go saat ini makin menjadi kotroversi. Pembahasan dari tingkat pendidikan dasar hingga negara soal permainan yang berasal dari hasil riset selama 20 tahun ini makin mengemuka.
Larangan pun dibuat dalam bentuk surat yang resmi, menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi mengeluarkan surat edaran larangan bermaingame virtual berbasis GPS di lingkungan instansi pemerintah.
Pun serupa dengan yang diterapkan di SMP 1 Purwokerto. Kepala SMP 1 Purwokerto, Sulistyaningsih mengemukakan Pokemon Go tidak baik untuk pelajar. “Pelajar bisa terganggu dan terbukti menurunkan prestasi belajar siswa,” ujarnya.
Dasar itulah yang kemudian membuatnya berinisiatif untuk melakukan razia ponsel pintar yang memiliki aplikasi permainan Pokemon Go. Pun ini sebenarnya juga berjalan lancar. Seorang pelajar kelas IX di sekolah berniat ingin memasang permainan tersebut.
“Sebenarnya ingin banget main (Pokemon Go), tapi dilarang sama ibu. Kalau menurutku sebenarnya tergantung orangnya saja sih,” kata Bintang.
Larangan mencari Pokemon Go pun diumumkan dalam satu papan berukuran 100 centimeter kali 60 centimeter di halaman Masjid Agung Darussalam Cilacap beberapa waktu lalu. “Dilarang Bermain Pokemon Go di Area Masjid Agung Darussalam Cilacap” terpampang jelas di parkiran masjid.
Petugas keamanan masjid setempat, Rusbi mengemukakan larangan tersebut dipasang, lantaran dalam beberapa hari terakhir kerap datang beberapa warga ke masjid hanya untuk mencari karakter pokemon.
“Kebanyakan anak dan remaja datang bukan untuk salat tetapi mencari pokemon dan parahnya sudah mengganggu orang yang beribadah,” jelasnya.
Tak seperti di Masjid Agung Darussalam Cilacap, di Purwokerto, takmir masjid agung Baitussalam Purwokerto memilih untuk tidak memajang larangan tersebut.
Strategi Bisnis
Sekretaris Takmir Masjid Baitussalam, Alimin mengemukakan alasannya lantaran hingga kini belum ada yang bermain Pokemon Go di sekitar masjid.
“Kalau dipasang pengumuman seperti itu, kayaknya kok kita seperti ikut mempromosikannya ya. Mungkin seperti strategi bisnis,” katanya.
Dia menilai, permainan dengan berbasis aplikasi tersebut belum sempat diketahui informasinya secara utuh. “Saya baru tahu baca dari (koran) Republika tadi. Saya sendiri juga tidak tahu pasti cara bermainnya seperti apa,” jelasnya.
Meski begitu, ia mengemukakan, jika permainan tersebut mengganggu kekhusyukan ibadah, pastinya akan dilarang juga.
Dari pantauan Purwokertokita, setidaknya dari 10 titik PokeStops di Purwokerto, tujuh diantaranya berada di tempat peribadatan.
Satu titik berada di satu ikon kota dan dua titik lainnya berada di tempat umum dan privat. Salah satu developer aplikasi asal Purwokerto, Pri Anton Subardio menilai, permainan ini memiliki sisi positif dan negatif.
“Apike (bagusnya) semua gamers jadi keluar, bisa jalan-jalan dan juga bisa modus ke tempat mantan,” jelas pria yang kini berpacaran lagi setelah melepas masa jomblonya beberapa waktu lalu.
Meski begitu, ia menilai Pokemon Go akan berbahaya jika gamers tidak awas dengan lingkungan sekitar. Soal penentuan tempat pokemon, ia menilai PokeStop dan Gym bisa diletakkan dengan acak.
“Pokemon memang bisa random dan berdasarakan karakter tempat juga pesanan. Misal di pembangkit listrik, mudah mencari Pikachu. Lokasi sungai untuk pokemon air,” jelasnya.
Ia menjelaskan, untuk mekanisme pesanan bisa menjadi sarana untuk menarik publik dalam berburu pokemon. Ia mengemukakan, seperti di tempat perbelanjaan, sebenarnya bisa dijadikan gym atau tempat berburu pokemon.
“Metode ini untuk menarik para trainer sambil jualan. Karena ada rasa nggak enak dan pemilik bisnis bisa ambil banyak manfaat dari situ,” jelasnya.
Sedangkan, untuk keberadaan PokeStop atau keberadaan Gym di tempat ibadah seperti masjid ternyata, takmir malah nggak tahu. Ini yang kemudian juga akan bermasalah,” jelasnya.
Hiperealitas
Sementara itu, Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Sulayana Dadan menilai mewabahnya Pokemon Go di kalangan masyarakat menunjukkan adanya fenomena hiperealitas.
Hiperealitas sendiri merujuk pada ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi.
“Saat ini, gamers seolah mengagungkan dunia pokemon dan meninggalkan dunia yang sebenarnya. Padahal, dunia yang ada dalam Pokemon Go merupakan rekaan,” jelasnya.
Kemajuan dunia dijital saat ini, jelasnya, sulit terbendung apalagi dengan munculnya teknologi berbasis GPS yang tentunya akan terus berkembang. “Dengan kondisi seperti ini, tentunya akan cepat sekali perkembangannya,” ucapnya.
Efek dari kemajuan teknologi yang seolah berada dalam hiperealitas tersebut, menurutnya, tidak perlu disikapi berlebihan. “Sebenarnya fenomena ini sama halnya dengan yang terjadi saat merebaknya game yang menggunakan kuota internet, Clash of Clans,” jelasnya.
Seharusnya, lanjutnya, sikap yang diambil pemerintah tidak perlu berlebihan dengan pelarangan permainan berbasis GPS tersebut. Ia mengemukakan, pada dasarnya sama. “Efeknya berdampak pada hubungan sosial dan aktivitas ekonomi yang terjadi seperti saat kemunculan fenomena tersebut,” ujarnya.
Pun fenomena tersebut juga terjadi saat facebook merebak dan dianggap mengganggu kinerja. Tetapi, lanjutnya, saat ini hanya menjadi angin lalu.
“Intinya, larangan sebenarnya belum perlu. Tetapi, khusus tempat ibadah perlu ada imbauan khusus kepada gamers agar tidak mengganggu aktivitas dan bahkan harus steril,” jelasnya.
Pun, menurutnya, fenomena ini juga mempunyai sisi yang bisa menjadi pelarian gamers dari aktivitas pekerjaan sehari-hari.