Abu Arifin Saat Suasana Genting Jogja

Lingkungan, Telisik178 Dilihat
abu arifin. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
abu arifin. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Minggu pagi, 19 Desember 1948, suasana Yogyakarta di sepanjang jalan protokol masih lengang. Hanya beberapa warga dan penduduk sekitar yang berlalu lalang untuk berdagang menuju Pasar Beringharjo. Bagi anggota kompi I dan II dari Markas Besar Polisi Tentara (MBPT) yang bertugas mengawal Jenderal Soedirman, hari minggu menjadi hari pelepas penat. Lantaran hari tersebut merupakan pelaksanaan gencatan senjata antara pasukan RI dan Belanda.

“Saat itu, anggota kompi beristirahat di rumah dan beberapa Jalan Bintaran Timur Nomor 8 yang menjadi tempat tinggal Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Sementara itu, Pak Dirman sedang berbaring lemah di tempat tidur ditemani Bu Dirman, serta orang-orang terdekatnya,” jelas mantan Ajudan II Panglima Besar Jenderal Soedirman, Mayor (Purn) Pendeta Abu Arifin, saat ditemui Sabtu (5/10).

Kondisi Jenderal Soedirman yang lemah, membuatnya harus mendapat perawatan intensif oleh dokter pribadinya Mayor Suwondo. Namun, kedamaian pagi itu di Yogyakarta dikagetkan dengan melintasnya satu pesawat bomber dan pemburu “cocor merah” milik pasukan Belanda yang menembaki beberapa bangunan membabi buta.

“Saat itu ada kabar kalau pasukan TNI sedang melakukan latihan perang-perangan di lapangan udara Maguwo sekitar pukul 06.00, tetapi ternyata malah Belanda menerjunkan pasukannya di Maguwo. Setelah itu pesawat perang Belanda melintas dan menembak membabi buta hingga menyebabkan pabrik peniti, yang dikira markas tentara, di Lempuyangan hancur,” tutur Abu.

Kondisi tersebut kemudian dilaporkan komandan Kompi I Kapten Cokropranolo yang melaporkan adanya serangan di Belanda. Usai mendapat laporan tersebut, membuat Soedirman berusaha bangkit. “Padahal saat itu Pak Dirman baru saja selesai operasi yang dilakukan Profesor Asikin di Rumah Sakit Panti Winoto yang berada di dalam keraton,” ujarnya.

Keadaan genting itu, membuat Jenderal Soedirman mengambil langkah untuk menentukan keputusan strategis. Abu menuturkan, akhirnya saat itu Jenderal Soedirman mengutus ajudan I Suparjo Rustam untuk melaporkannya ke istana presiden yang berada kurang lebih 1 kilometer dari rumah Jenderal Soedirman. “Tetapi jarak yang ditempuh Parjo (Suparjo Rustam) saat itu seolah-olah sangat jauh. Karena dalam perjalanan menuju istana, Parjo sempat mendapat tembakan berasal dari udara yang dimuntahkan pesawat Belanda,” ungkap Abu.

Namun, saat sampai istana presiden, Suparjo Rustam justru tidak bisa masuk ke dalam istana. Alasan saat itu, jelas Abu, karena ada beberapa pemberlakuan saat kondisi genting di kalangan tentara. “Saat keadaan genting, kami diwajibkan menjalankan aturan untuk saling mencurigai satu dengan yang lain untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan,” jelasnya.

Tidak mendapat kabar dari Supardjo Rustam, akhirnya Jenderal Soedirman memutuskan untuk menemui presiden di istana. Padahal, jelas Abu, saat itu Soedirman dilarang untuk bepergian. Saat itu disiapkan dua mobil, yakni satu sedan hitam dan satu mobil bak terbuka yang diisi pasukan.

“Setelah itu, Pak Dirman menaiki mobil sedan hitam bersama supirnya, Dirman, yang namanya memang sama dengan beliau. Kemudian komandan pasukan pengawal Kompi I Kapten Cokropranolo berada di sisi kiri supir dan Pak Dirman bersama Mayor Suwondo di belakang,” kata Abu yang saat itu berpangkat letnan dua.

Uwin Chandra

Tinggalkan Balasan