Purwokertokita.com – Forum Pedagang Bir Se-Banyumas meminta legislatif dan eksekutif membuat regulasi khusus yang melarang penjualan bahan oplosan minuman keras.
Pedagang mengatakan, membuat regulasi penjualan obat antibiotik untuk bahan campuran oplosan, lebih baik daripada melarang pedagang berjualan bir.
“Kami minta legislatif melarang penjualan bahan kimia yang dijual di apotek yang digunakan untuk bahan baku oplosan secara bebas, “ kata Sekretaris Forum Pedagang Bir se-Banyumas Nas Sabarani di Purwokerto, Sabtu (28/05).
Sabarani mengatakan penyebab kematian terbanyak terjadi karen oplosan. Pun tak hanya korban meninggal, tetapi juga membunuh mata pencarian pedagang bir eceran.
“Kenapa hanya kami yang dilarang berjualan. Seharusnya aparat juga melarang penjualan secara bebas bahan kimia yang dijual di apotek dan toko penyedia bahan kimia untuk keperluan rumah tangga yang biasa dipakai sebagai bahan baku oplosan, “ katanya.
Ia menjelaskan, hingga saat ini belum ada korban jiwa akibat oplosan di sejumlah daerah eks-Karesidenan Banyumas. Namun kondisi lapangan, lanjutnya, kerap ditemukan masyarakat sudah mulai mencampurkan minuman beralkohol kandungan 40 persen dengan bahan kimia yang didapatkan di apotek.
“Maraknya oplosan di Banyumas itu karena harga bir alami kenaikan, setelah adanya regulasi pelarangan penjualan minuman beralkohol di sejumlah daerah. Akhirnya, masyarakat mencoba meracik sendiri karena keterbatasan uang membeli bir, “ katanya.
Sementara itu, seorang pedagang bir, M Rifai mengatakan rancangan undang-undang untuk pelarangan minuman beralkohol, berdampak pada dirinya. Ia mengemukakan ancaman tersebut dirasakan pedagang eceran.
“Pelarangan itu tidak mensejahterakan pedagang kecil, apalagi dalam praktiknya, banyak rekan pedagang di berbagai daerah yang mengeluhkan adanya pemaksaan untuk menyetorkan ‘upeti’,” ucapnya.
Ia mengemukakan dalam nominal tertentu, memberikan upeti kepada oknum aparat dan organisasi masyarakat yang sering melakukan razia terhadap produk bir.
“Pelarangan penjualan bir di tingkat eceran itu tidak adil. Pedagang kecil terus dicekik, kami dipaksa menyetorkan uang dalam jumlah tertentu kepada oknum agar bisa berjualan, sementara negara telah memungut cukai dan pajak atas produk bir, “ kata Rifai.