Berawal dari Hobi, Menciptakan Pasar Sendiri dan Berdikari di Desa

Bisnis223 Dilihat
Budi Haryanto (32), pemilik “Jegos Studio” yang berlokasi di Desa Kebasen, Banyumas. (NS/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Awalnya tidak pernah bercita-cita menjadi tukang dekorasi, tapi siapa sangka, dari hobinya yang gemar mengutak-utik dan menghias huruf, mendatangkan pelanggan tersendiri bagi Budi Haryanto (32), pemilik “Jegos Studio” yang berlokasi di Desa Kebasen, Banyumas.

Sejak akhir tahun 2015 Budi mendirikan Jegos Studio, bengkel sekaligus galeri untuk karya kreatifnya. Dari rumah kecil itu, Budi memproduksi beragam huruf hias (lettering) untuk keperluan dekorasi rumah.

Awalnya, Budi hanya membuat goresan kata di atas kertas. Namun, sejak mendirikan Jegos Studio, dia mulai menggunakan tiga bahan berbeda, kanvas, kayu dan triplek.

“Bahan ini, disesuaikan dengan kebutuhan pemesan, ada yang untuk dekorasi indoor maupun outdoor. Cat yang digunakan pun menyesuaikan keperluan,” katanya.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), menurut Budi, dia sudah gemar dengan seni menghias huruf. Ilmunya pun semakin mumpuni sejak mempelajari seni desain secara otodidak.

“Orang bilang, pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi dibayar. Saya mencoba itu. Ya awal mulanya memang dari hobi menghias huruf,” ujar Sarjana Sosiologi lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ini.

Budi yang juga pernah menjadi jurnalis salah satu media lokal, menciptkakan pasar untuk karyanya sendiri. Hal ini dia lakukan dengan selalu memanfaatkan media sosial, seperti Instagram dan Facebook.

Pelanggannya pun semakin berkembang seiring pasar yang berhasil diciptakannya sendiri. Tidak hanya dari Purwokerto saja, ada pula konsumen dari Jakarta, Bandung dan Yogyakarta.

Harga produk huruf dekoratif dari Jegos Studio ini bervariasi, mulai dari Rp 350 ribu untuk hiasan ruangan, hingga Rp 1,5 juta untuk dekorasi pernikahan.

Budi menceritakan, semua bahan dibeli dari sekitar rumahnya, seperti kayu mahoni, kayu pinus. Kecuali kayu jati Belanda yang motifnya halus harus mendatangkan dari luar kota.

“Kalau soal ide dan desain, masih dikerjakan sendiri. Kecuali untuk garapan teknis seperti memotong kayu, baru dibantu orang atau teman,” tuturnya.

Kini, Budi bercita-cita menjadikan galerinya sebagai ruang kreatif bagi para seniman dan desainer desa. Dia mewujudkannya dalam bentuk pameran dan workshop yang digelar secara rutin. Pameran dan diskusi itu pun menghadirkan arsitek, penyair, pelaku seni hingga musisi dari berbagai kota. (NS/YS)

Tinggalkan Balasan