Purwokertokita.com – Jumlah orang Islam (muslim) mayoritas di Indonesia, idealnya menjadi garda depan dalam usaha mengentaskan kemiskinan. Terlebih, seperti kita ketahui, karena mayoritas itulah, jumlah orang miskin juga didominasi sesama muslim. Keberadaan zakat, infak dan shodaqoh sejatinya merupakan solusi.
“Zakat, infak dan shodaqoh itu selain konteksnya menjalankan perintah agama, juga secara sosial menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi kemiskinan. Istilah populernya, kita memberi kail bukan ikan,” kata Sekretaris MUI Banyumas, Dr Moh Ridwan.
Sementara dalam praktik pengelolaan zakat, infak dan shodaqoh dikenal istilah; zakat produktif. “Yakni, memberikan (mentashorufkan) zakat, infak, shodaqoh untuk kegiatan produktif. Bukan sekedar diberi uang dan habis dalam sekejap,” lanjut pria yang juga dosen di IAIN Purwokerto tersebut.
Ridwan yang juga Ketua Lembaga Amal Zakat Infak Shodaqoh Nahdlotul Ulama (LAZISNU) Banyumas memberikan contoh. “Bantuan disalurkan kepada yang berhak tetapi memiliki usaha kecil. UKM, PKL misalnya,” katanya.
Tidak berhenti disitu saja, “Dalam waktu bersamaan, kita dorong juga agar dana yang kita berikan betul dikelola. Mereka (mustahiq) juga kita dorong untuk menyisihkan penghasilnya melalui infak. Kita sediakan langsung kotaknya,” ujarnya.
Dengan demikian, secara mental akan ada perubahan signifikan. “Esensi zakat infak dan shodaqoh kan pemberdayaan. Artinya, mereka yang tadinya mustahiq (orang yang menerima) tidak lama kemudian menjadi muzaqqi (orang yang berzakat). Orang yang tadinya menerima shodaqoh kemudian menjadi mutashodiq (orang yang bersedekah),” papar Ridwan.
LAZISNU, kata Ridwan mencontohkan, melalui program NUPreneur tahun 2015 menyalurkan dana Rp 9 juta kemudian dari sana masuk dana Rp 7 juta. “Saya pikir itu pola yang menarik dan mendidik serta memberdayakan. Dalam sekejap, ada perubahan mental, pemberdayaan berjalan baik,” katanya.