Mengenal Thalassemia, Tips Kesehatan dari Dokter Lantip Rujito

Rehat153 Dilihat
Dokter Lantip Rujito (Istimewa)
Dokter Lantip Rujito (Istimewa)

Purwokertokita.com – Thalassemia, jenis penyakit genetik yang satu ini masih menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia, utamanya adalah negara berkembang. Kombinasi penanganan yang membutuhkan biaya besar, seumur hidup, dan kompleksitas penyebab genetik, menjadikan thalassemia menjadi masalah yang tidak pernah habis. Berikut paparan dokter Lantip Rujito soal Thalassemia.

Dalam sebuah laporan penelitian di Iran, salah satu negara endemik thalassemia seperti Indonesia, dibutuhkan sekurangnya  €146.621,49 untuk biaya langsung dan € 26.430,22 untuk biaya tidak langsung pertahun atau kurang lebih 2,7 milyar pertahun per 100 anak.

Di Indonesia ditemukan data bahwa dengan terapi standard diperlukan kurang lebih 1,7-2 juta perpasien untuk tahun 2011. Pada saat sekarang, dipastikan akan meningkat tajam kurang lebih 3-10 juta perbulan sesuai dengan kebutuhan transfusi, jumlah obat kelasi besi yang harus diminum, dan tambahan obat penunjang lainnya.

Biaya ini belum termasuk biaya operasional bagi pasien untuk datang ke fasilitas kesehatan, dan juga tambahan jika ada komplikasi lainnya. Belum adanya pengobatan definitif dan berlangung selama hidup menjadikan thalassemia sebagai penyakit genetik yang sangat membebani bukan hanya keluarga pasien akan tetapi juga negara.

Indonesia sebagai negara simpul endemik thalassemia mestinya bergegas untuk membuat kebijakan untuk mencegah penyakit genetik ini semakin meluas. Data kesakitan pasien thalassemia di Indonesia adalah kurang lebih 6.600 pasien terdaftar, dengan 300-350 pasien ada di wilayah Banyumas.

Data ini menunjukan peningkatan yang signifikan, mengingat sejak Yayasan Thalassemia Indonesia, Banyumas didirikan tahun 2009, jumlah penderita waktu itu hanya kurang lebih 60 pasien. Salah satu faktor peningkatan pasien ini adalah banyaknya pembawa sifat thalassemia di Indonesia, tercatat 3-10 orang dalam 100 orang penduduk adalah pembawa gen penyebab thalassemia.

Di Banyumas, penelitian yang dilakukan bersama antara FK Unsoed, PMI, dan RSU Banyumas mendapatkan data bahwa angka pembawa sifat thalassemia di Banyumas mencapai 8 %, sebuah angka yang cukup tinggi untuk penyakit genetik.

Secara awam thalassemia dikenali sebagai penyakit anemia atau kurang darah yang bermula pada waktu masa bayi dan akan membutuhkan tambahan darah setiap bulan. Thalassemia dikenal mempunyai 2 (dua) kategori utama yaitu thalassemia mayor, kategori yang memerlukan penanganan terus menerus, dan thalassemia minor.

Thalassemia mayor terjadi karena dua gen hemoglobin yang diturunkan oleh orang tuanya mengalami kelainan. Sedangkan thalassemia minor adalah individu yang hanya membawa satu gen hemoglobin bermasalah yang diturunkan dari orang tuanya.

Kegagalan tubuh untuk membuat hemoglobin normal sejak lahir berakibat serangkaian proses klinik dengan gangguan utama anemia hemolitik. Anemia karena gangguan rantai globin alfa atau beta ini memicu rentetan klinik selanjutnya yaitu gangguan pertumbuhan, tulang yang tipis, penonjolan tulang muka dan kepala (tonggos) sampai pembesaran organ limpa dan hati.

Rangkain gejala klinik ini dikenal dengan sindrom talasemik. Satu-satunya terapi suportif yang bisa dilakukan adalah transfusi rutin setiap bulan untuk mendukung kebutuhan hemoglobin dalam tubuh.

Transfusi setiap bulan ini megakibatkan komplikasi klinik selanjutnya akibat penumpukan besi dalam tubuh. Komplikasi tersebut adalah reaksi oksidan-antioksidan yang terganggu sehingga mudah terserang penyakit, penumpukan besi di organ endokrin dapat menyebabkan diabetes melitus dini, penumpukan di jantung menyebabkan gangguan irama jantung, deposit besi di kulit menyebabkan kulit menghitam, dan sebagainya.

Dari sekian komplikasi transfusi, gangguan endokrin dan jantung merupakan penyebab kematian dini bagi para pasien thalassemia. Oleh karena itulah selain, transfusi rutin, pengobatan terhadap kelebihan besi dan efek yang menyertainya menjadi menu wajib bagi para pasien thalassemia.

Berebeda dengan penyakit infeksi, dimana faktor penyebab berupa bakteri, virus, mikroorganisme, dan lain-lain adalah objek yang sulit dilacak, Thalassemia sangat mungkin dapat dicegah. Sebagai penyakit genetik yang diturunkan secara resesive, penyakit thalassemia sebenarnya ‘mudah dikontrol’.

Teori sederhana adalah dengan menghindari 2 (dua) gen penyebab thalassemia dari orang tua bertemu dalam satu individu (anak). Tindakan ekstrim adalah mencegah pernikahan bagi orang-orang yang diketahui membawa gen penyebab thalassemia tersebut.

Menghindari pernikahan antar pembawa gen ini merupakan cara efektif dalam mencegah semakin luasnya penyakit thalassemia. Namun demikian, dalam kronologi program pencegahan thalassemia, kebijakan tersebut menjadi solusi aksi yang tidak bisa dipaksakan.

Dalam kerangka program pencegahan, kronologi pertama dan yang utama adalah informasi dan edukasi. Edukasi dimaksudkan untuk memberikan informasi sejelas-jelasnya tentang penyakit thalassemia, baik itu penyebabnya, cara penurunannya, cara diagnosis, gejala klinik dan terapi seumur hidunya, biaya yang harus ditanggung, komplikasi, kemana harus memeriksakan diri, dan sebagainya.

Diharapkan dengan edukasi ini masyarakat akan secara mandiri dan suka rela mau memeriksakan diri untuk mengetahui apakah dirinya membawa gen thalassemia atau tidak.

Golongan pertama pada tahap edukasi ini adalah kerabat atau keluarga dari anak yang diketahui menderita penyakit thalassemia. Golongan ini sangat penting karena mereka sangat berisiko memiliki gen pembawa thalassemia (thalassemia minor).

Golongan selanjutnya adalah para pemuda, baik itu masa usia sekolah maupun mahasiswa. Tahap ini pentng karena masa depan mereka masih bisa dikelola dengan baik.

Dengan mengetahui apa itu thalassemia dan konsekuensi-konsekuensinya diharapkan mereka secara sukarela memeriksakan dirinya, dan berusaha mengelola masa depan pernikahannya. Pada tahap ini pemerintah dapat mengintensifkan peran kader kesehatan di puskesmas dan bidan-bidan desa, bekerjasama dengan pendidik, lembaga kemasyarakatan dan organisasi kepemudaan.

Pembekalan terhadap para penghulu dan pencatat nikah menjadi lini hilir yang efektif mengingat merekalah yang bersentuhan langsung dengan para calon pasangan nikah. Tentu, edukasi di tahap ini bukan lagi ditekankan dalam kerangka sadar thalassemia sebelum nikah, tetapi memberikan informasi kepada pasangan pembawa gen thalassemia akan kesiapan mental pasangan tersebut dan mengarahkan mereka kepada konselor genetik untuk mendapatkan saran informasi yang jelas tentang pilihan-pilihan reproduksi yang acceptable bagi pasangan tersebut.

Edukasi dan pemberian informasi ini selanjutnya diimbangi dengan kesiapan fasilitas kesehatan baik itu puskesmas, klinik pratama, dan laboratorium untuk mampu melakukan pemeriksaan skrining pembawa sifat thalassemia. Skrining ini diprioritaskan kembali kepada keluarga yang memiliki riwayat pasien thalassemia.

Dr.dr.Lantip Rujito,MSi.Med. dan tim thalassemia di Banyumas menemukan data bahwa 54% individu dari keluarga pasien thalassemia yang diperiksa teryata membawa gen penyebab penyakit tersebut. Sejalan dengan pemberian edukasi, pemeriksaan tersebut diharapkan agar pembawa sifat dapat merencanakan masa depan perkawinannya dengan baik.

Tahap skrining selanjutnya adalah ibu hamil. Kelompok ini menjadi penting karena secara teknis, pemeriksaan darah bagi ibu hamil adalah sebuah keniscayaan.

Dengan mengetahui apakah ibu hamil tersebut membawa gen thalassemia atau tidak, pemeriksaan terhadap suami menjadi lebih terbuka. Sasaran selanjutnya adalah para pemuda dalam masa reproduksi (SMA, Mahasiswa). Identitas pembawa sifat thalassemia akan memudahkan mereka akan kepastian keturunannya di masa mendatang. Kemudahan akses dan kecepatan informasi hasil pemeriksaan, menjadi penting dalam tahap ini.

Pada tahap klinik, pendampingan pasangan dengan pembawa sifat thalassemia dihadapkan pada beberapa pilihan termasuk reproduksi bayi tabung, dan pemeriksaan tes genetik selama kehamilan (prenatal diagnosis). Namun, kesiapan pada tahap ini membutuhkan sarana dan tenaga ahli yang kompeten dibidangnya, serta penggunaan biaya yang sangat besar.

Pilihan lain dari pasangan dengan pembawa sifat thalassemia adalah adopsi. Pilihan ini merupakan pilihan yang cukup bijak dan disarankan oleh para keluarga dengan anak yang mengidap thalassemia.

Di Banyumas sendiri, rangkaian upaya tersebut sudah dilakukan oleh tim thalassemia. Pada akhirnya kelanjutan program pencegahan menjadi tanggung jawab semua pihak dalam hal ini Pemkab dengan fasilitas dan SDM kesehatannya, akademisi dengan penyediaan tenaga ahli dan konseling, serta peran serta masyarakat dalam sosialisasi yang lebih luas.

Pencegahan thalasssemia yang komprehensif ini diharapkan dapat mengulang kesuksesan negara-negara endemik lainnya seperti Cyprus, Italia, Iran, dan lain-lain yang mampu menurunkan angka kejadian thalassemia sampai mendekati 0 %, tentu dengan skala nasional yang dilindungi peraturan.

Tinggalkan Balasan