Oleh: Andy Sri Wahyudi
Siapa yang harus menulis sejarah kita jika tubuh telah bersatu dengan tanah? Sementara sejarah hanyalah sebuah ruang kelas yang dingin. Ruang kelas yang angkuh dan sombong. Ruang kelas yang hanya ditinggali segelintir orang.
Blendong, nama yang tak akan mungkin luntur dalam ingatanku. Blendong adalah sahabatku, ia juga saudaraku. Kami dipertemukan pada kisaran tahun 2002-2003 dalam sebuah perjumpaan khas anak – anak muda yang suka kluyuran: kumpul bersama, bersenda gurau, bermain gitar bernyanyi nyanyi sambil berjoget bersama, lengkap dengan minum-minuman yang membuat kami semakin bergairah hingga larut malam, di pinggir jalan di kota Purwokerto. Waktu itu kami adalah anak-anak muda yang tak pernah memahami, bahkan tak peduli dengan masa depan, hari esok atau cita-cita. Kami hanya mengikuti alur cerita sehari-hari yang selalu ada saja pesta-pesta sepanjang hari.
Ada pesan
Ada tarian
Ada nyanyian
Ada pesta sepanjang hari
Sepenggal sajak karya Surya Esa itu yang membuat kami bahagia setiap kali ada pertemuan. Danto, Blendong dan aku. Beberapa teman menjuluki kami Asterik, Obelix dan Idefix (sialan aku jadi Idefixnya) Tiga serangkai yang selalu keranjingan acara-acara seni yang kami adakan sendiri setiap kami mau. Pentas teater, baca puisi, pantomim, atau workshop tatto bersama anak-anak seni rupa (Sono, Codet dan Patub porx). Indah, seru dan sungguh mendamaikan hati kami sebagai generasi yang merayakan kemerdekaan dengan cara yang kami tahu.
Entah akan kemana kami esok hari dan bagaimana hidup kami nanti, sementara sistem sosial terus menghantui untuk bekerja secara rutin memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rasanya kami dan teman-teman hidup dalam kemewahaan yang ganjil: merenung, ngobrol, bicara tentang kehidupan, merasakan dan mengamati suasana hidup yang seolah ingin kami rubah, hingga menjadi karya-karya seni yang kemudian kami wujudkan di atas panggung pertunjukan. Dan mungkin hanya kami sendiri yang mengerti.
Ah, itu belasan tahun lalu ketika dunia seperti berpihak kepada kami. Kemerdekaan dan Kebahagiaan sepanjang hari yang dinanti nanti banyak orang, namun kami berhasil mendapatkannya dengan sangat mudah dan terasa mewah. Kami seperti sebuah pusaran tempat dimana anak-anak muda gelisah tak tentu arah berkumpul mencari identitas dan bergerak menjadi diri.
Tahun- tahun berlalu seperti laju lalu lintas yang tak mengenal rambu-rambu. Kami berjalan sendiri-sendiri mencari apa yang hendak diinginkan kata hati. Kami berpisah namun sesekali bertemu dalam karya – karya baru.
Tahun 2009, Blendong masih turut serta membuat ilustrasi musik dalam pementasan teater Mak Ana Asu Mlebu nGomah di kampung Mijen Minggiran Jogjakarta. Naskah yang mengangkat tema daya hidup masyarakat kecil yang digilas jaman. Cerita tentang tergusurnya sebuah kampung sekaligus sanggar tempat kami berkreatifitas bersama. Tahun 2012 lagi lagi Danto, Blendong dan aku tampil bersama dalam sebuah acara baca puisi di alun-alun Purwokerto.
Baca: Purwokerto Kehilangan Seniman Muda
“Jika mendapatkan kemerdekaan jangan seenaknya sendiri memperlakukan kemerdekaan” sebuah teguran telak dari Surya Esa kepada kami dari samping panggug. Hahaha…ya waktu itu kami agak sembrono mementaskan musikalisasi puisi. Selalu kami dapat menertawai diri kami sendiri dalam keadaan apapun. Dan kami berjanji tak akan seenaknya sendiri memperlakukan kemerdekaan itu.
Kami dipertemukan dalam fragmen-fragmen peristiwa yang tidak disengaja. Aku juga tak tahu mengapa masih saja terjadi pertemuan setelah kami membuat ruang masing-masing. Danto sangat mencintai gitar dan nyanyian puisinya, Blendong sangat mencintai jimbe alat – alat perkusi dan coretan tangannya, sementara aku masih juga suntuk dengan dunia teater, pantomim dan tulisan-tulisanku.
Aku percaya ruang-ruang yang kami bangun dengan semangat, pikiran dan hati kami akan terus menyala-nyala dan berkelap kelip menghiasi hidup di seputar kami. Sebab kemandirian, kekuatan dan kemerdekaan adalah sebuah jalan yang membuat kami terus hidup, membangun diri untuk menghidupi apa saja yang ada didekat tubuh ini. Menghidupi gerak dan menjadikan jarak bukan alat yang mudah rusak namun sesuatu yang terus berdetak detak.
Ah, itu hanyalah penggalan kisah kisah muda yang tak rela tuk dilupakan, yang terus kami kenangkan. Kami sadar, bahwa kami bukanlah siapa-siapa, bukanlah apa-apa. Kami hanya ingin membuat dunia kecil, membuat sejarah kecil yang akan kami tulis sendiri dengan tetes tetes keringat. Kami hanya ingin berseru dengan tawa dan binar mata: inilah energi itu. inilah pertemuan itu. dan….
Setelah Pertemuan
saat waktu memalamkan perjalanan…
disini di jalanan sepi basah kutemukan aku ada padamu
entah beberapa yard dari ketersesatan,
senyap yang mendinginkan hati mengembalikan deru langkah-langkah
dan kemerdekaan adalah pilihan!
disini di jalanan sepi basah kutemukan aku ada padamu
bersama gerimis dan hangat tubuh
kusisipkan bungakata setia pada pertemuan
disini dijalanan sepi basah kutemukan aku ada padamu
hingga kelak darahmu-darahku saling hidup menghidupi kehidupan
dan kemerdekaan adalah pilihan!
disini atau dimanapun adalah aku dan kamu
merayapi hidup mengenali aku dan kamu
dan kemerdekaan adalah pilihan!
Purwokerto, 19 maret 2004
diatas trotoar tubuhku kumal berdebu
Serangkai Kata Untuk Blendong
Blendong berjalan menuju sebuah arah. Jejaknya menjadi aliran sungai yang berkelok lucu seru dan indah. Bunga bunga, rumput dan ilalang bertumbuhan disekililingnya. Serangga dan segala jeni binatang bahagia bermain di sepanjang sungai itu. Suara tawanya adalah ekosistem kecil yang terus berputar dalam dekapan pagi, siang dan malam. Blendong memainkan musik untuk teman-temannya. Ia bernyanyi untuk ibunya, untuk ayahnya, untuk keluarganya, untuk semesta yang ia cintai.
Ia melukis pohon yang berbuah bulatan-bulatan kecil warna-warni, buah buah itu adalah kerlip cahaya yang boleh dipetik siapa saja. Ia membuat kesedihan menjadi bunyi dan puisi yang di dengar oleh debu debu jalanan. Suatu kali ia berteriak tentang hari hari bahagia yang telah berlalu, hari hari yang sedemikian dirindukannya. Blendong mempunyai kekasih, ia bernama bahagia.
Setiap hari ia merawat dan mewarnai kekasihnya bersama orang-orang seputarnya. Mewarnai dengan warna-warna yang mereka sukai. Setiap hari suasananya ramai sekali… Blendong membuat cerita tentang tumbuhan dan hewan yang saling bersalaman dan menatap bintang dan rembulan bersama-sama di sepanjang malam. Tangan Blendong menggenggam dunia yang terbuat dari nafasnya. Sebuah dunia dimana semua yang ada saling berbicara dan berpelukan. Dan setiap pagi tiba tubuh Blendong menjadi MATAHARI. Ia menjadi daya yang hidup bersama kita.
Blendong bukan segelintir orang. Blendong adalah bermacam orang yang terus berseru seru. Mengajak kita membuat sejarah dan dunia baru.
Djogjakarta, 22 Desember 2015