Purwokertokita.com – Bulan September merupakan musim kawin bagi buaya yang hidup di wilayah tropis seperti di Indonesia. Musim kawin ini dimulai sejak bulan Agustus, ditandai dengan gejala kawin, yakni buaya jantan dan betina yang sudah saling mendekat.
Periode musim kawin buaya juga ditandai dengan semakin agresifnya hewan buas yang bersifat teritorial ini. Di alam liar, siapa pun yang dianggap menganggu wilayah teritorialanya akan diserang hewan yang biasanya sudah berpasangan.
Para Intruder atau tamu dianggap mengganggu. Pasalnya, biasanya buaya sudah mulai membangun sarang dari serasah semak yang ditumpuk di daratan kering. Buaya tak akan jauh-jauh dari sarangnya.
Musim kawin buaya di alam liar berlangsung secara alami, tapi bagi buaya yang hidup di penangkaran seperti di penangkaran buaya di Desa Dawuhankulon, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, musim kawin buaya ini sedikit merepotkan penangkar. Pasalnya, di tempat ini, tak ada jantan yang cukup tangguh untuk mengawini dua buaya betina jumbo yang siap kawin.
Guntur dan Rambo, dua betina yang siap kawin ini merupakan dua dari 26 buaya beragam jenis yang berada di penangkaran milik Yusuf Arif Suyanto. Di tempat ini, jenis buaya paling banyak didominasi oleh buaya muara. Selain itu ada buaya Sinyolung dan buaya Papua.
Baca : Kisah Fatah, Penyelamat Buaya Asal Desa Dawuhankulon Banyumas
Guntur dan Rambo berukuran tubuh di atas rata-rata, yakni 2 kwintal lebih dan hampir 2 kwintal. Usianya pun sudah lebih dari dewasa untuk berkembangbiak. Pada musim kawin, Guntur dan Rambo harus bertemu dengan pasangan yang sepadan untuk kawin.
Karenanya, Arif memutuskan untuk mendatangkan pejantan dari penangkaran buaya Subang, Jawa Barat, yang dikelola oleh KPH Perhutani setempat. Buaya jantan ini dianggap cukup perkasa untuk menaklukkan dominasi dua buaya terbesar di penangkaran buaya miliknya.
“Sebenarnya, ada buaya muara jantan. Tapi umurnya masih muda. Ukuran tubuhnya pun masih kalah jauh dengan betinanya. Ia kalah dominan dan justru bisa terluka jika berdekatan dengan si betina,” ujar Arif ketika dihubungi, Jumat (18/8).
Buaya jantan yang didatangkan ini bernama Negro, lantaran kulitnya yang paling hitam dibandingkan dengan buaya-buaya lain di penangkaran yang sama. Ia didatangkan bersama dengan buaya betina yang sudah berjodoh dan dikandangkan di tempat yang sama.
Negro, sang jantan, berbobot lebih dari 200 kilogram dan dalam dokumennya dinyatakan berumur 15 tahun. Adapun betinanya, kurang lebih umurnya sama, dengan ukuran tubuh yang sedikit lebih kecil.
Saat dievakuasi dari kandangnya, Negro memberontak. Saking beratnya, batang kayu besar untuk mengangkat patah.
“Saya terkilir. Saya sekarang pakai kursi roda dulu,” Arif menceritakan.
Negro ditempatkan di kandang yang sama dengan betina yang didatangkan dari Subang ini. Rencananya, Negro juga akan dijodohkan dengan Rambo dan Guntur, dua betina yang terlebih dahulu ada di penangkaran Dawuhan Kulon.
Dua buaya muara ini didatangkan, terutama si jantan, agar buaya muara di penangkaran, bisa memperoleh keturunan. Salah satu hak yang harus dipenuhi untuk hewan peliharaannya adalah hak untuk berkembang biak. Hak berkembang biak menjadi salah satu indikator kesejahteraan hewan liar yang dipelihara manusia.
“Ke depan, selain penangkaran ini akan jadi destinasi wisata edukatif,” kata Arif.
Layaknya hewan teritorial, buaya jantan dari Subang dan betina di penangkaran buaya Dawuhan Kulon tidak langsung disatukan dalam satu kandang. Mereka akan dibiarkan saling mengenal lewat lorong yang dibatasi besi.
Jika sudah saling tertarik dan tidak terindikasi bertarung, selanjutnya buaya jantan dan betina akan disatukan agar bisa berkembang biak menjelang musim kawin buaya, September mendatang.
“Kan sebenarnya kawinnya September besok. bulan Agustus itu sudah mulai musim. Karena mereka kan berkali-kali kawin, setiap saat-setiap saat,” ujar Arif menjelaskan.
Menurut Arif, pada masa awal pengenalan, buaya memang harus menghindari interaksi langsung, karena hampir dipastikan buaya akan bertarung. Risikonya, buaya bisa cedera atau bahkan mati.
“Tentu risiko-risiko yang membahayakan buaya ini mesti dihindari,” tambahnya.
Sebagai upaya untuk menghindari risiko-risiko ketika buaya disatukan, Arif akan membuat lorong yang diberi tambang. Sehingga jika terjadi buaya bertarung, Arif dengan mudah bisa memisahkannya. (RS/YS)