Kisah Fatah, Penyelamat Buaya Asal Desa Dawuhankulon Banyumas

Lingkungan311 Dilihat
penangkaran buaya jawa tengah
Fatah Arif Suyanto (46), warga Desa Dawuhankulon, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, menjadi satu-satunya orang di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang memiliki izin untuk menangkarkan buaya. (AA/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Jatuh cinta kepada buaya, mungkin ungkapan inilah yang tepat disematkan kepada Fatah Arif Suyanto (46), warga Desa Dawuhankulon, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas. Pria yang akrab dipanggil Fatah ini, kesehariannya bergelut dengan buaya, hewan predator yang dikenal ganas.

Ada 26 ekor buaya, mulai dari buaya Muara, buaya Papua dan buaya Sinyulong yang saat ini menemani hari-hari Fatah di penangkaran miliknya yang sudah berizin. Fatah, menjadi satu-satunya orang di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang memiliki izin untuk menangkarkan buaya.

Pria dengan perawakan sedang dan pembawaan kalem ini, memelihara buaya di kolam-kolam di area seluas seribu meter persegi. Dari 26 buaya yang ada, 24 ekor merupakan titipan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Kecintaan Fatah kepada reptil, berawal dari pengalamannya belasan tahun lampau. Suatu malam, ketika dalam perjalanan pulang dari tempat kerja ke rumahnya di Desa Dawuhankulon, mata Fatah menangkap sesosok benda menggelepar-menggelepar di tengah jalan. Rupanya, benda itu adalah ular sanca kembang.

Dia menyoroti ular itu dengan lampu sepeda motornya. Ketika didekati, mendadak ular itu diam, lama Fatah memperhatikannya.

Menurut Fatah, ular sanca dengan panjang sekitar 2,5 meter itu seperti tengah meminta belas kasihan. Saat diperhatikan dengan seksama, rupanya ada kutu sebesar hewan lembing, kira-kira berukuran 0,5 centimeter, menempel kuat di batok kepala si ular.

“Tubuh ular itu sudah kurus dan lemah. Kutu yang menempel di kepalanya menyedot otak ular,” ujar Fatah saat ditemui di penangkaran buaya miliknya, Selasa, 10 April 2018.

Fatah menuturkan, kutu ular bisa menempel di seluruh badan ular. Tapi bagian favoritnya adalah batok kepala, karena makanan favoritnya adalah otak ular.

Lantaran merasa kasihan, Fatah memanggil seorang teman untuk membantu mengevakuasi ular sanca kembang itu ke rumahnya. Fatah pun kesulitan melepas kutu ular yang menancap kuat di batok kepala.

“Saya ambil gunting kuku, kemudian saya tarik, tubuh kutunya malah patah,” ungkapnya.

Tidak hanya sampai di situ, Fatah pun merawat ular sanca kembang tersebut hingga sehat. Dia telaten mengobati luka dan memberinya makan. Sampai kemudian dia memutuskan untuk melepas ular yang kondisinya sudah membaik ke habitatnya di semak-semak pinggir hutan.

Pengalaman inilah yang membuat Fatah jatuh hati kepada reptil. Menurut Fatah, pengalaman menemukan ular yang meminta tolong kepada manusia selalu membayanginya.

“Kita dan hewan itu sama-sama makhluk Tuhan yang semestinya saling menjaga,” katanya.

penangkaran buaya jawa tengah
Buaya-buaya yang hidup di penangkaran milik Fatah. (AA/Purwokertokita.com)

Kecintaan Fatah kepada reptil, membuat dia rela menghabiskan waktu, tenaga, dan mengeluarkan uang tak sedikit untuk menyelamatkan hewan-hewan, seperti buaya yang dikategorikan sebagai satwa liar dilindungi ini.

Bagi kebanyakan orang, memelihara buaya mungkin bukan hal yang lumrah. Tapi bagi pria yang kesehariannya menjadi pemborong di bidang konstruksi ini, komitmen untuk menangkarkan buaya sudah menetap dalam hatinya.

Pertama kali memelihara buaya, Fatah mendapatkannya dari seseorang yang hendak menyerahkan buaya. Barangkali orang itu sudah bosan atau menyerah. Dia pun memelihara buaya itu baik-baik.

Namanya sebagai pemelihara buaya pun cepat tersebar, hingga sampai ke telinga petugas BKSDA Jawa Tengah. Saat didatangi petugas BKSDA, Fatah baru tahu kalau menangkarkan hewan dilindungi tersebut harus memiliki izin. Dia pun berjanji untuk mengurusnya.

Mengurus izin penangkaran ternyata tidak mudah, butuh waktu yang lama untuk melengkapi semua persyaratannya.

“Setelah dapat izin, saya kemudian membeli dua ekor buaya F2 dari penangkaran Blanakan, Subang, Jawa Barat,” tuturnya.

Secara berturut-turut, ia lantas dititipi buaya oleh BKSDA, baik buaya sitaan maupun penyerahan sukarela dari masyarakat. Ia pun, resmi menjadi mitra BKSDA Jawa Tengah.

Pada Februari 2018 lalu, ia dititipi delapan ekor buaya. Lantas, pada bulan Maret, datang lagi buaya dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Terbaru, April, sepekan lalu, dua ekor buaya kembali dititipkan BKSDA di penangkaran Fatah.

Menurut Fatah, pihak BKSDA menitipkan buaya ke penangkaran berizin atau kebun binatang lantaran tidak memiliki anggaran untuk memelihara dalam jangka panjang. Peran inilah yang diambil Fatah untuk menyelamatkan buaya-buaya itu.

Tidak mudah untuk memelihara apalagi menangkarkan buaya, hewan liar dan ganas ini membutuhkan perlakuan yang hati-hati dan kemampuan yang mumpuni. Selain itu, daging yang menjadi makanan buaya harganya mahal, Fatah harus pintar dalam mencari makanan untuk hewan peliharaannya ini.

Beruntung, di desa sekitar tempat tinggalnya, banyak peternak ayam pedaging. Fatah bisa mendapatkan ayam afkir atau kerdil, kadang ada pula ayam yang baru mati dengan daging masih segar diantarkan ke tempatnya. Dia bisa membelinya dengan harga murah.

Meski bisa mengurangi anggaran belanja pakan, tiap bulan, Fatah membutuhkan uang antara 1,5 juta sampai 2 juta rupiah untuk memenuhi kebutuhan pakan.

Fatah berkeinginan, sebelum dikembangkan ke penangkaran yang menghasilkan, dia ingin menjadikan penangkaran buaya miliknya sebagai tempat wisata. Agar ada pemasukan yang bisa dia gunakan untuk membantu membeli pakan.

“Ke depan, saya ingin agar ini dikembangkan sebelum sampai ke penangkaran yang menghasilkan, ya bisa menjadi tempat wisata. Agar ada pemasukan untuk membantu membeli pakan buaya,” ungkapnya. (RS/YS)

Tinggalkan Balasan