Perburuan Tanaman Endemik Rawan Terjadi di Lereng Selatan Slamet

Lingkungan, Peristiwa243 Dilihat
Keberadaan Kebun Raya Baturraden dinilai membantu untuk konservasi tanaman alam di lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Keberadaan Kebun Raya Baturraden dinilai membantu untuk konservasi tanaman alam di lereng Gunung Slamet, Jawa Tengah. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Banyaknya tangan usil yang ingin memiliki beberapa jenis tanaman khas alam di sekitar lereng Gunung Slamet semakin memprihatinkan. Beberapa waktu lalu, petugas lapangan bagian kesatuan pemangku hutan (BKPH) Gunung Slamet Barat.

Petugas resor kesatuan pemangku hutan (RKPH) Gunung Slamet Barat Subejo mengatakan penggagalan pengambilan tananam langsung dari alam, yakni anggrek epifit (Mycaranthes latifolia) dan Anggrek Tanah (Calanthe pulchra) digagalkan oleh warga yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kemutug Lor Baturraden beberapa waktu lalu.

“Kejadiannya kalau tidak salah sekitar Februari 2016. Saat itu yang menangkap kebetulan warga yang berada di sekitar sini. Terus terang kami terbantu dengan keberadaan warga yang ikut mengawasi keanekaragaman hayati di sini,” jelasnya saat ditemui, beberapa waktu lalu.

Diakuinya, persoalan personel masih menjadi kendala dalam menjaga keanekaragaman hayati yang ada di kawasan Baturraden. Ia mengemukakan, saat ini hanya ada lima penjaga dengan luasan area mencapai 4 ribu hektare lahan.

“Karena itu, kami akan meningkatkan komunikasi dengan warga yang selalu membantu kami. Selain itu, kesadaran warga yang tinggi menjaga keanekaragaman hayati di wilayah hutan Baturraden ini cukup tinggi,” jelasnya.

Dari informasi yang dihimpun tanaman asli alam seperti anggrek hingga kantung semar yang dicuri kebanyakan berada di kawasan hutan lindung atau hutan alam.

Jalur yang dilalui para pencuri tanaman tersebut, biasanya melalui hutan produksi terlebih dahulu karena letak hutan lindung yang berada di sekitar satu kilometer dari batas kedua hutan tersebut. Kemudian untuk jalur kembali, para pencuri tersebut melewati kawasan Baturraden, Dusun Kalipagu dan Kebun Raya Baturraden.

“Kalau ada yang mencurigakan, pasti akan dimintai keterangan dari pengamanan masyarakat sekitar hutan (LMDH) dan juga jagabaya yang berada di sekitar Baturraden,” jelas Mandor di BKPH Gunung Slamet Barat, Suwandi kepada wartawan, beberapa waktu lalu.

Ia mengemukakan, kejadian tersebut merupakan kesekian kalinya. Namun, diakui Suwandi, sejak ada pengamanan swakarsa dari masyarakat sekitar hutan pencurian tanaman tersebut terus berkurang. Dari data yang ada luas lahan hutan di BKPH Gunung Slamet Barat mencapai 14.786 hektare.

Dari total lahan tersebut, khusus hutan lindung 8.712 hektare. Sisanya 6.073 ha untuk kawasan hutan produksi.  Hingga saat ini, pihaknya terus melakukan koordinasi dengan paguyuban jagabaya dan sejumlah LMDH sekitar.

Pencuri luar daerah

Kepada wartawan, komandan jagabaya Baturraden Warjito mengemukakan selama sebulan terakhir, memergoki tiga kelompok yang membawa turun tanaman anggrek dan penjalin cacing. Menurutnya, kebanyakan pelaku berasal dari Jawa Barat yang mengaku dari Bandung, Garut dan Tasikmalaya.

Dari pengakuan kelompok tersebut, harga tanaman anggrek di Bandung, misalnya, bisa mencapai Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. “Padahal di Baturraden berkisar Rp 20 ribu sampai Rp 25 ribu. Kalau penjalin cacing dijual di Baturraden sekitar Rp 200 ribu, tetapi di Bandung bisa mencapai Rp 1 juta,” jelasnya.

Ia juga menambahkan, beberapa jenis tanaman seperti anggrek, penjalin cacing dan kantung semar juga dijual untuk diekspor ke luar negeri.

Jenis Anggrek Epifit yang dicuri beberapa waktu lalu dititipkan di rumah anggrek Kebun Raya Baturraden Jawa Tengah. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Jenis Anggrek Epifit yang dicuri beberapa waktu lalu dititipkan di rumah anggrek Kebun Raya Baturraden Jawa Tengah. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Sementara itu, Kepala Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Banyumas Timur, Wawan Triwibowo mengemukakan, fenomena pengambilan tanaman anggrek langsung dari alam tersebut akan sangat mengganggu keanekaragaman hayati jika terjadi terus menerus.

“Ini menjadi masukan kami untuk terus waspada dan melakukan patrol, karena kalau yang diambil sampai berkarung-karung tentunya akan mengganggu keanekaragaman hayati di Gunung Slamet,” jelasnya saat dihubungi wartawan.

Agar persoalan ini tidak lagi terulang, Wawan berjanji akan mempelajarinya dari sisi hukum untuk menjerat pelaku di kemudian hari.

“Kami akan pelajari dari sisi aspek hukum. Apakah anggrek tersebut masuk dalam flora yang dilindungi? Kalau iya, kami akan ambil langkah-langkah hukum. Jika tidak, maka tidak boleh dieksploitasi lebih banyak,” jelasnya.

Sejumlah barang bukti, meliputi 42 tanaman anggrek tanduk rusa atau epifit dan tujuh tanaman anggrek tanah saat ini dititipkan di rumah anggrek Kebun Raya Baturraden (KRB). Seorang staf KRB, Nuri Jelma Megawati menjelaskan tanaman anggrek tersebut memiliki karakteristik yang khusus dan harus hidup di lingkungannya.

“Seperti anggrek tanah, biasanya hidup di dalam hutan hujan tropis dengan ketinggian kisaran 500-3.400 meter di atas permukaan laut. Jika ditanam di daerah yang tidak sesuai dengan habitatnya tentunya akan cepat mati. Pun juga dengan anggrek tanduk rusa,” jelasnya.

Lebih jauh, ia mengemukakan, fenomena pengambilan tanaman di alam atau hutan juga pernah terjadi beberapa waktu lalu. Saat itu, tanaman yang menjadi primadona diambil besar-besaran adalah kantung semar atau Nepenthes andrianii.

“Banyaknya pengambilan kantung semar saat itu membuat tanaman itu semakin langka hingga saat ini. Walau diambil, tanaman tersebut belum tentu bisa hidup karena memiliki sensitivitas yang tinggi,” jelasnya.

Karena itu, ia mengimbau agar tanaman yang berada di alam liar hutan hujan tropis Indonesia tidak semestinya diambil.

Tinggalkan Balasan