Habis Polemik, Festival (Mendoan) Digelar

Peristiwa478 Dilihat
Warga berebutan mendoan yang dibagikan Buapti Banyumas dalam Festival Mendoan, Minggu (8/11). (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Warga berebutan mendoan yang dibagikan Buapti Banyumas dalam Festival Mendoan, Minggu (8/11).
(Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari pun mengemukakan pandangannya. Ia menyatakan, persoalan ini merupakan resiko dalam proses transisi masyarakat tradisional menuju budaya modern. “Dari segi budaya, inilah resiko perpindahan dari tradisi budaya tradisional ke budaya modern, ini repotnya. Akan membawa hal-hal seperti ini, dimana hak cipta perorangan itu dilindungi oleh undang-undang,” katanya.

Menurutnya, kekhawatiran akan hak paten pernah dikeluhkan di tahun 1990-an, pada produk pertanian padi di Indonesia. “Itu (hak kekayaan intelektual) sudah dibicarakan tahun 1990-an itu. Saya kira dalam hal ini pemerintah harus tegas melindungi hak-hak budaya kelompok masyarakat tertentu,” paparnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Dinperidagkop) Banyumas, Komariah kepada wartawan, beberapa waktu lalu, mengemukakan mengacu pada UU No 15 Tahun 2001 tentang merek yang menyebut merek tidak dapat didaftar apabila merek telah menjadi merek umum.

“Berdasar UU tentang merek No 15 tahun 2001 ada yang termuat, tidak boleh merek itu memiliki nama umum. Mendoan itu merek umum dari Kabupaten Banyumas, kami sangat menyayangkan merek mendoan menjadi merek yg dimiliki perorangan,” katanya.

Diakuinya, belum ada pengajuan mendoan sebagai indikasi geografis kepada Direktorat Jenderal Hak kekayaan Intelektual (HKI) Kemenkumham. Indikasi geografis sendiri adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Tempe mendoan disajikan di atas tampaj oleh tim peserta lomba.  (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Tempe mendoan disajikan di atas tampaj oleh tim peserta lomba.
(Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Karena itu, ia mengemukakan untuk langkah ke depan akan meminta agar memfasilitasi hak kekayaan intelektual mendoan menjadi indikasi geografis sepertin produk khas dari daerah lain, seperti Salak Sleman, Kopi Gayo yang berasal dari Ache dan Kopi Bali.

“Kita berharap mendoan jadi produk indikasi geografis, atau produk kekayaan Banyumas. Karena tidak logis dengan produk itu, menggunakan kata-kata yang umum,” ucapnya.

Diakuinya, ada kemungkinan belum pernah melakukan pengajuan terkait ini. Dia berharap, ke depan mengambil langkah yang lebih baik dengan mengajukan indikasi geografis itu sendiri.

“Seperti saat ini, kami mengajukan Getuk Goreng Sokaraja. Memang pengajuannya sangat rumit, dimulai dari nama indikasi geografis, kemudian sejarah yang dibuat juga harus diteliti, sejarah dari mana produk dan pengembangan dan masyarakat itu seperti apa,” ujarnya.

Seorang warga menunjukkan mendoan yang dimasak dalam Festival Mendoan di Pratistha Harsa Purwokerto, Minggu (8/11). (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Seorang warga menunjukkan mendoan yang dimasak dalam Festival Mendoan di Pratistha Harsa Purwokerto, Minggu (8/11).
(Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Ahmad Tohari menilai, Ditjen HKI teledor dalam menerbitkan hak eksklusif tersebut lantaran mendoan sudah dikenal sebagai makanan khas Banyumas sejak 50 tahun lebih. Meski begitu, ia berharap pemerintah bisa menerbitkan aturan daerah untuk melindungi kebudayaan asli yang ada di Banyumas, agar tidak kembali terulang kejadian seperti ini.

“Karena sudah jadi permasalahan, saya rasa perlu diikuti dengan penerbitan aturan,” ucapnya.

Uwin Chandra

Tinggalkan Balasan