Pendidikan: Kebutuhan atau Sekadar Menggugurkan Kewajiban?

Kolom109 Dilihat

Oleh: Riko Adi Viantoro, S.Pd. (Pendidik di SMK Muhammadiyah 1 Purbalingga

Pendidikan merupakan salah satu pilar utama kemajuan suatu bangsa dan individu. Namun, dalam realitasnya, seringkali muncul pertanyaan fundamental, apakah pendidikan dipandang sebagai kebutuhan hakiki untuk pengembangan diri dan masyarakat, ataukah sekadar upaya menggugurkan kewajiban formal yang harus dipenuhi agar mendapatkan ijazah dan pekerjaan?

Dari perspektif ideal, pendidikan adalah kebutuhan hakiki yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia. Pertama, pendidikan adalah kunci untuk pengembangan diri dan potensi individual. Melalui pendidikan, seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang memungkinkan mereka untuk berpikir kritis, berinovasi, dan berkontribusi secara positif. Ini sejalan dengan konsep human capital yang menyatakan bahwa investasi dalam pendidikan akan meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan individu (Schultz, 1961). Individu yang terdidik lebih mampu beradaptasi dengan perubahan, mengambil keputusan yang tepat, dan mencapai kebahagiaan personal.

Kedua, pendidikan adalah motor penggerak kemajuan sosial dan ekonomi suatu bangsa. Bangsa yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung memiliki inovasi yang lebih baik, pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil, dan tingkat partisipasi sipil yang lebih tinggi. Pendidikan membentuk warga negara yang bertanggung jawab, mampu membedakan informasi, dan aktif dalam pembangunan demokrasi. Ini juga ditekankan oleh laporan UNESCO yang menyatakan bahwa pendidikan adalah investasi terbaik untuk pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2015).

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktiknya, pendidikan seringkali terjebak dalam persepsi sekadar menggugurkan kewajiban. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, adanya tekanan sistematis untuk mencapai angka dan gelar formal tanpa diimbangi dengan kualitas pembelajaran yang substantif. Lulus dengan ijazah seringkali menjadi tujuan utama, terlepas dari apakah pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh benar-benar relevan dan aplikatif. Fenomena ini diperparah dengan anggapan bahwa ijazah adalah satu-satunya tiket menuju pekerjaan, sehingga proses belajar menjadi semata-mata alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Kedua, adanya kurikulum yang kaku dan metode pengajaran yang kurang inovatif. Ketika pendidikan hanya diartikan sebagai transfer informasi satu arah dan penghafalan, minat belajar siswa dapat menurun. Mereka mungkin merasa bahwa sekolah adalah tempat yang membosankan dan melelahkan, bukan wadah eksplorasi dan penemuan. Akibatnya, motivasi intrinsik untuk belajar menjadi tumpul, dan pendidikan hanya dianggap sebagai serangkaian tugas yang harus diselesaikan untuk “lulus.”

Ketiga, keterbatasan akses dan fasilitas pendidikan di beberapa daerah juga dapat mengubah persepsi pendidikan dari kebutuhan menjadi kewajiban. Ketika sekolah jauh, guru tidak memadai, atau sumber belajar terbatas, proses belajar menjadi beban daripada kesempatan. Orang tua mungkin menyekolahkan anaknya karena “harus,” bukan karena kesadaran penuh akan manfaat jangka panjangnya.

Pada akhirnya, pendidikan sejatinya adalah kebutuhan hakiki yang harus dipenuhi oleh setiap individu dan bangsa. Memandang pendidikan hanya sebagai kewajiban adalah mereduksi esensinya dan menghambat potensi maksimal yang dapat diraih. Penting bagi semua pihak baik pemerintah, institusi pendidikan, orang tua, dan masyarakat untuk berkolaborasi dalam menggeser paradigma ini.
Transformasi pendidikan harus melibatkan, Reorientasi fokus pada kualitas dan relevansi, bukan hanya kuantitas dan gelar, Pengembangan kurikulum yang dinamis dan metode pengajaran yang inspiratif untuk menumbuhkan minat belajar sejati, Peningkatan akses dan pemerataan fasilitas pendidikan agar setiap anak memiliki kesempatan yang sama, Penanaman kesadaran kolektif bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan yang lebih baik, bukan sekadar “tick-box exercise” yang harus diselesaikan. Dengan demikian, pendidikan dapat kembali pada fitrahnya sebagai kebutuhan fundamental yang memberdayakan individu dan memajukan peradaban.

Referensi:
– Schultz, T. W. (1961). Investment in Human Capital. The American Economic Review, 51(1), 1-17.
– UNESCO. (2015). Education 2030 Incheon Declaration and Framework for Action for the implementation of Sustainable Development Goal 4: Ensure inclusive and equitable quality education and promote lifelong learning opportunities for all. Paris: UNESCO.

Tinggalkan Balasan