PURWOKERTOKITA.COM, PURBALINGGA – Bupati Purbalingga, Fahmi Muhammad Hanif, menggembor-gemborkan ambisinya menjadikan Purbalingga sebagai kabupaten percontohan nasional dalam waktu lima tahun. Langkah awal yang ditempuh adalah menggelar retreat, program latah yang digelar di Objek Wisata Goa Lawa Purbalingga (GOLAGA), Jumat 14 Maret 2025.
Fahmi mengira, retreat bisa secara instan meningkatkan kinerja aparatur negara yang kadung memiliki budaya kerja khas PNS. Ini tampak dari optimismenya bahwa retreat mampu memenuhi ekspektasinya membuat Aparatur Sipil Negara (ASN) bekerja cepat, kreatif dan inovatif.
“Kita harus memiliki visi dan misi yang sama. Saya ingin mindset seluruh ASN dan pejabat di Purbalingga adalah bagaimana lima tahun ke depan kita bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat,” kata Fahmi.Fahmi menyatakan retraet menjadi titik awal bagi seluruh ASN dan pejabat di lingkungan Pemkab Purbalingga bergerak lebih cepat dan maksimal dalam membangun daerah.
“Retreat ini adalah permulaan, starting point. Setelah ini, kita tidak boleh berjalan lambat. Kita semua harus berlari, all out, untuk membangun Kabupaten Purbalingga dan memberikan dampak positif yang luar biasa bagi masyarakat,” ujarnya.
Retreat lebih mirip sebagai gimik bupati baru yang memanfaatkan euforia kegiatan serupa di level nasional. Padahal, yang di level nasional pun belum juga menunjukkan keberhasilan.
Fahmi harus mengubah gaya kepemimpinan yang bertumpu pada pencitraan semu pada kepemimpinan yang lebih substantif. Toh publik bisa menilai, mana yang bekerja keras untuk kesejahteraan rakyat dan mana yang pura-pura bekerja sambil bergaya di depan lensa Humas.
Para pembisik di sekitar bupati belia ini juga harus lebih cerdas. Boleh membangun persepsi positif, namun jangan pula melupakan hal-hal fundamental seputar kesejahteraan rakyat.
Ingat, bupati petahana yang dua periode berkuasa terjungkal bukan karena lawannya yang lebih kuat. Meski dinastinya menggurita, namun itu semua tak mampu membendung tsunami ketidakpuasan publik terhadap kepemimpinannya. Semua kemewahan itu rata saat pilkada tiba.
Publik cukup cerdas untuk menilai. Dan publik punya ruang berekspresi yang tanpa batas untuk sekadar “misuh” perihal kekecewaanya. Mereka tak segan bersuara jika penguasa sibuk dengan kepentingan diri dan kroninya lalu melupakan rakyatnya.***