Ruang Sastra dan Pembelajarannya

Kolom, Sastra293 Dilihat

Jika teks sastra dikatakan memiliki bentuk dan isi, maka ia memiliki berbagai sisi yang dapat kita lihat sebagai subjek yang aktif dalam membicarakan fenomena kehidupan. Meskipun, sastra adalah ruang itu sendiri (dengan adanya berbagai sisi), tapi sastra juga membutuhkan ‘ruang’, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Pierre Bourdieu dalam membaca sastra secara sosiologis, yang dilakukan di Prancis, untuk melihat relasi sastra dalam arena kultural.

Ruang sastra bukan hanya wilayah peredaran sastra itu sendiri, sebagaimana kita melihat pada wilayah publikasinya, melainkan konteks (infrastruktur dan suprastruktur) yang secara genetis mendorong sastrawan untuk berkarya agar teksnya diterima oleh masyarakat. Kita bisa melihat pengetahuan umum masyarakat terhadap sastra hanya pada teks dan pengarang yang dicatat oleh sejarah dan masuk buku pengajaran. Misal, sajak ‘Aku’ karya Chairil Anwar, “Tiga Karangan Bunga” karya Taufik Ismail dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari , Pada Sebuah Kapal karya N.H Dini. Pandangan ini menjadi miris pada peserta didik (siswa dan mahasiswa) yang tidak mengenal karya sastra dan pengarang yang ada di sekitarnya.

Pembelajaran

Model pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkat satuan pendidikan agar lebih kontekstual—dengan berupaya untuk melakukan pengembangan diri—, ternyata implementasinya tidak berjalan dengan baik. Makinlah miris kita dengan arena kultur pendidikan yang tolak ukurnya ditentukan secara kuantitatif, tidak mengarahkan pada intisari untuk memahami model sosiologis masyarakat secara eksplisit. Maka, kebayakan komentar dari peserta didik yang muncul bahwa sastra hanya sebagai bumbu pelengkap dari pengajaran bahasa. Bahkan, di beberapa SMK, pengajaran sastra telah diganti dengan pengajaran menulis indah, yang secara esensial telah mengubah paradigmanya.

“Ruang sastra setiap waktu selalu mengalami perubahan, tergantung pada operasional media untuk memberlangsungkan komunikasi” begitulah ungkap Faruk H.T. ketika mendiskusikan “Kebudayaan, Manusia dan Media” di Wisma Seni Taman Budaya, Solo. Maka, bukan sastra yang mengikuti media untuk mendapatkan ruang, melainkan sastra yang membentuk dialektika dengan media sebagai bagian dari komunikasi untuk memicu respons.

Dan, jangan menyalahkan anak-anak masa sekarang, ketika mereka tidak lagi mengenal substansi sastra. Justru, kita harus mengoreksi diri, jika zaman dulu anak masih kecil hanya mendengar dongeng dari orangtua sebagai hiburan dan relaksasi imajinasi sehingga pagajaran sastra cukup dengan kata-kata, namun sekarang televisi—dengan hiper-realitasnya: membuat tiruan lebih indah dan menarik—telah mengarahkan intuisi anak untuk melakukan imitasi, juga identifikasi figur utamanya.

Oleh karena itu, pebelajaran sastra tidak akan menarik hanya dengan ilustrasi kata-kata, terlebih lagi orang yang mengajar tidak pernah bersastra, apalagi mendalami. Kita pantas menjadi mempertanyakan mengenai cara pemerolehan sensibilitas untuk menciptakan karya sastra yang kompleks. Sensibilitas merupakan syarat utama agar teks sastra tidak hanya bentuk yang indah, melainkan memiliki kandungan ruh yang menembus ruang dan waktu, dan menggerakan sisi ketaksadaran pembaca. Yang seharusnya dilakukan dalam arena kultur pendidikan adalah menemukan kembali sensibilitas untuk mencipta dan mengapresiasi di tengah pengaruh media agar seluruh indra tergerak, melalui audio-visual. Perlu juga ada pertarungan intuisi dalam ruang sastra.

Ruang Sastra

Ruang sastra adalah relasi-relasi sastra dalam berbagai pengaruh sosial budaya di seluruh elemen masyarakat, baik dalam pengaruh kekuasaan, politik, ekonomi, bahkan pendidikan. Namun, di Indonesia, ruang sastra yang secara popular bertransformasi dengan masyarakat dengan memunculkan agen-agen baru adalah di lingkup pendidikan.

Harus diakui bahwa sejumlah sastrawan mendapat predikat sebagai sastrawan dengan tidak menempuh institusi pendidikan, tapi dengan eksistensi karyanya. Namun, memasuki rezim Orde Baru, sastra tersebar dalam pengawasan institusi pendidikan dalam berbabagai arahan.

Sejauh kita tetap memandang sastra dalam cengkraman pendidikan, maka sastra berada dalam regresi. Kita harus memandang sastra dalam arena kultur yang lain, dalam iringan media dan persepsi masyarakat menjalin hubungan secara komunikatif dan inovatif. Kita harus memberanikan diri untuk menciptakan inovasi-inovasi pengajaran sastra, dengan melihat pengarang-pengarang lokal sebagai cara untuk mengembangkan potensi. Inovasi pengajaran sastra harus mengacu pada ruang literer dan perkembangan sosiologis, sehingga melatih sensibilitas peserta didik. Cara ini akan memberikan ‘pembebasan’ karena akan ada penemuan yang humanis melalui kesadaran praktis yang dimiliki oleh peserta didik dalam mencermati teks sastra.

Hanya pola pendidikan tradisional yang menekankan pembelajaran pada pengulangan masa lalu untuk hadir di masa sekarang, jadi dalam pola pendidikan yang ‘lebih modern’ dengan melakukan identifikasi pada kesadaran praktis dari peserta didik dimaksudkan agar interkasi pembelajaran sastra (antara stimulus dan respon) tidak terhambat. Sastra sebagai bagian dari dunia sosial senantiasa terbuka bagi perubahan yang tidak hanya merekonstruksi masa lalu saja. Sastra adalah jalinan konsep yang dinarasikan secara kompleks sehingga membentuk wacana, sebab itu pembelajarannya pun harus kontekstual dalam ruang yang serba dilematis.

Diana Tri Rahayu. Penulis adalah Guru SMP Al Irsyad Islamiyah Purwokerto. Tinggal di Karangnanas, Sokaraja.

Tinggalkan Balasan