Istilah new normal atau kenormalan baru tidak bisa secara lugu dimaknai semata-mata ketersediaan berbagai protokol kesehatan dan upaya-upaya untuk mematuhinya di berbagai bidang kehidupan. Di dalam istilah tersebut terdapat berbagai kandungan berbahaya. Pasalnya, memberi peluang bagi kapitalisme untuk selamat serta merevitalisasi dirinya ketika nanti pandemi Covid-19 tak ada lagi.
Menggunakan istilah new normal serta membahasnya dengan nada afirmatif ⸻tanpa nada kritis-radikal⸻ akan mereduksi upaya-upaya kolektif untuk membongkar, menggugat dan merubah sistem kapitalisme yang telah terbukti mengeksploitasi semua penghuni alam.
Memulihkan Perekonomian
Di sejumlah negara yang relatif berhasil menangani pandemi Covid-19, perencanaan pelonggaran kebijakan penguncian (lockdown) atau pembatasan dilakukan setelah terjadi penurunan angka kasus baru secara signifikan. Bahkan setelah dipastikan tidak ada pertambahan kasus baru sama sekali. Misalnya saja Selandia Baru yang merencanakan pelonggaran pembatasan setelah selama 11 hari berturut-turut tidak ada kasus baru positif Covid-19 dan pada tanggal 8 Juni yang lalu telah menyatakan diakhirinya penguncian.
Situasi di Indonesia masih mengalami penambahan kasus baru. Data https://covid19.go.id/peta-sebaran (diakses pada 24 Juni 2020 pk.10.22) terdapat 47.896 kasus yang terkonfirmasi dengan 2.535 orang yang meninggal. Dalam kondisi seperti ini serta fakta-fakta rendahnya kapasitas pengujian Indonesia, logika semacam apakah yang dapat membenarkan adanya pelonggaran pembatasan yang lantas digaritkan dengan istilah new normal?
Dengan mudah kita dapat mengamati dari berbagai pernyataan pemerintah di media, bahwa pelonggaran pembatasan didorong bukan oleh terjadinya penurunan kasus positif. Tetapi oleh keinginan untuk mengembalikan kegiatan perekonomian seperti sedia kala. Seperti yang dapat disimak dari pernyataan pejabat Kementerian Koordinator Perekonomian, kebutuhan new normal adalah indikator ekonomi, bukan indikator kesehatan seperti di kebanyakan negara lainnya.
Tentu saja Indonesia bukan satu-satunya negara yang akan melonggarkan pembatasan terkait Covid-19. Brazil, India, Meksiko, Afrika Selatan, dan Rusia adalah sejumlah negara yang sudah berencana melonggarkan pembatasan, karantina, atau sejenisnya dengan alasan untuk memulihkan perekonomian, bukan kesehatan.
Keputusan semacam itu beresiko meningkatkan penyebaran Covid-19 di masing-masing negara. Dampak buruk lain meningkatkan kemungkinan lebih banyak jiwa melayang, semakin menekan sistem layanan kesehatan yang saat ini alami kelebihan beban, serta mengacaukan upaya global untuk menghentikan pandemi. Tentu saja, siasat mengatasi potensi penularan Covid-19 di kesemua negara itu yakni penerapan berbagai protokol kesehatan.
Hanya saja, dengan menilik berbagai laporan media yang memberitakan kurangnya kepatuhan sebagian warga negara Indonesia semasa masih diterapkan berbagai pembatasan, bagaimana dapat mengharapkan kepatuhan jika diterapkan pelonggaran?
Ketika new normal sudah diterapkan dengan pertimbangan ekonomi dan anggota masyarakat sudah kembali berkegiatan di luar rumah secara normal lantas terpapar oleh virus tersebut, pemerintah bisa saja akan mengatakan “tetap terjadinya penularan merupakan konsekuensi dari tindakan orang per orang karena pemerintah sudah menyediakan semua protokol kesehatan”. Jika itu yang kelak terjadi, tidakkah nalar yang menempatkan sehat tidaknya seseorang di masa pandemi pada tindakan individual merupakan bagian dari logika survival of the fittest yang mengarah pada teori herd immunity yang pernah muncul di masa awal pandemi? Jika demikian, meminjam istilah dari filosof Slavoj Zizek dalam buku Pandemic! COVID-19 Shakes The World (2020), new normal diibaratkan sebagai barbarisme dengan wajah manusiawi.
Keberpihakan Kelas
Pandemi Covid-19 tentu saja menghantam sangat keras perekonomian semua negara yang penduduknya mengidap virus ini. Secara kasat mata, yang paling terkena hantaman pandemi secara ekonomi adalah pendapatan warga masyarakat kelas menengah bawah dan kelas bawah.
Sebagian dari mereka sebelumnya memang tidak memiliki penghasilan tetap (pengusaha mikro, kecil, dan menengah). Pandemi menghadapkan pada situasi tidak lagi bisa berusaha atau sulit berusaha karena tempat bekerjanya tutup atau menjadi sepi. Penyebabnya pembeli atau pelanggan menghindari ke luar rumah untuk mencegah penyebaran virus.
Sebagian lagi memiliki penghasilan tetap namun menghilang karena tidak boleh bekerja. Sebabnya, tempat kerja (pabrik) mesti ditutup. Entah karena tidak ada pasokan bahan baku dari negara lain yang tidak bisa mengirim barang karena pandemi. Bisa jadi pula karena tidak ada permintaan barang akibat dari calon pembeli yang melakukan penghematan selama menjalani karantina diri.
Kelas sosial ekonomi lainnya yaitu menengah ke atas relatif dapat lebih bertahan daripada dua kelas sebelumnya. Hanya saja dalam kategori kelas menengah ke atas terdapat para pekerja kreatif yang meskipun berpenghasilan besar, namun juga tidak dapat bekerja. Produktivitas mereka terhalang adanya berbagai larangan berkegiatan lantas mengandalkan tabungan untuk bisa hidup. Hanya mereka yang bekerja sebagai aparatur negara dan kelas atas (pemilik modal) saja yang paling tidak terganggu secara ekonomi oleh adanya pandemi.
Dengan demikian, apakah new normal ditujukan untuk menyelamatkan hajat hidup kelas bawah dan kelas menengah ke bawah? Pantas dicatat, nalar ekonomi yang berlaku di kelas bawah adalah subsistensi atau bertahan hidup. Segala keuntungan usaha mereka adalah untuk menyediakan kebutuhan dasar keluarga dan membayar pinjaman usaha mereka. Mereka tidak memiliki arahan untuk melakukan akumulasi modal, apalagi merencanakan adanya keuntungan dari penumpukan laba itu.
Berbeda dengan nalar ekonomi kelas pemilik modal. Mereka tidak sekedar bertahan hidup. tetapi melakukan akumulasi modal. Mereka mengutamakan keuntungan usaha dari penumpukan laba itu, sehingga mereka dikenal sebagai kelas kapitalis.
Jika negara bermaksud menyelamatkan penghidupan warga masyarakat kelas bawah dan menengah ke bawah sembari tetap menjauhkan dari virus, semestinya caranya adalah memberikan bantuan tunai dan/atau non tunai secara berkelanjutan sepanjang mereka belum bisa berusaha dikarenakan masih adanya pandemi. Pemerintah Selandia Baru contohnya, membayar gaji para pekerja swasta yang terdampak oleh virus dan membantu para penyewa rumah yang juga mengalami kesulitan selama 6 bulan. Sedangkan Jerman menyediakan bantuan pinjaman cepat yang sepenuhnya dijamin pemerintah kepada usaha-usaha kecil dan bantuan uang kepada seluruh warganya.
Tentu saja Indonesia sebagai negara berkembang memiliki skala kemampuan menyediakan bantuan kepada warganya yang berbeda dengan negara-negara tersebut. Kita pun tahu, pemerintah sudah merencanakan dan menyalurkan puluhan trilyun rupiah bantuan sosial dengan berbagai macam bentuknya. Hanya saja, di tengah situasi penanganan pandemi ternyata pemerintah masih menyiapkan lebih dari seribu trilyun untuk sejumlah besar proyek baru.
Meskipun anggaran sebanyak itu adalah untuk kegiatan tahun 2020-2024, namun ketersediaan anggaran tersebut membuat kita dapat mempertanyakan tingkat keseriusan pemerintah membantu warganya. Terutama solusi persoalan ekonomi yang dialami oleh masyarakat kelas bawah dan menengah bawah, yang terdampak oleh pandemi.
Revitalisasi Kapitalisme
Istilah new normal awalnya diperkenalkan oleh seorang pengusaha modal ventura, Roger McNamee dalam buku The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk (2003). Buku ini kurang lebih mengungkapkan bahwa meskipun saat ini penuh ketidakpastian namun ada juga peluang-peluang luar biasa. Individu dianggap jauh lebih penting daripada saat-saat sebelumnya sehingga dunia usaha perlu menyesuaikan diri terhadapnya. Istilah new normal kembali muncul di dunia bisnis setelah terjadinya krisis keuangan 2007-2008 dan resesi global 2008-2012. Singkat kata, new normal merupakan upaya-upaya untuk memulihkan kembali perekonomian dan memasuki era dimana diperlukan cara-cara baru untuk berusaha.
Sebagian ahli kesehatan memang menyebutkan bahwa new normal mengacu pada kenyataan bahwa perilaku manusia memang harus berubah di hari-hari setelah diserang Covid-19. Meskipun demikian apabila melihat berbagai pernyataan pejabat dan ekonom, terutama di Indonesia, sulit untuk dihindari kesan bahwa motif pertama dan utama untuk menerapkan new normal adalah ekonomi, bukan kesehatan.
Penggunaan istilah new normal dan ajakan untuk beradaptasi padanya, juga menghindarkan pada upaya lebih jauh untuk melihat dan menindaklanjuti pertanyaan besar: Apa sesungguhnya penyebab pandemi dan bagaimana bisa menyebar?
Meski saat ini masih ada beragam banyak teori mengapa bisa muncul Covid-19, salah satu penjelasan kritis diuraikan oleh Bosman Batubara dalam Teman Rebahan: Kapitalisme & Covid-19 (2020). Virus ini muncul ke dunia manusia disebabkan habitatnya terdesak sehingga manusia menjadi sasaran untuk dijadikan inang. Keterdesakan habitat alami virus disebabkan oleh semakin tipisnya hutan akibat kegiatan-kegiatan manusia yang mendegradasi lingkungan yang sudah berlangsung berabad-abad.
Pertanyaannya, sistem sosial ekonomi semacam apa lagi yang dapat memungkinkan bahkan mendorong eksploitasi alam (dan manusia sendiri) jika bukannya kapitalisme?
Hukum pertumbuhan ekonomi telah membuat kapitalisme melakukan ekspansi terus-menerus termasuk dengan merubah ekosistem secara radikal yang berujung pada pindahnya patogen (bakteri, virus, dan mikro organisme lainnya) ke dunia manusia. Apabila new normal dimaknai sekedar kepatuhan pada berbagai protokol kesehatan, berbagai upaya kritis untuk membongkar beroperasinya kapitalisme, melakukan penyadaran masal tentang bahayanya, dan mencari atau menyusun sistem penggantinya tidak akan pernah muncul.
Sebenarnya pandemi Covid-19 ini telah menghantam kapitalisme dengan keras. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang sebelumnya adalah negara- negara kapitalis yang kaya mendadak berubah seperti pesakitan ketika diterjang oleh Covid-19. Sedang Slavoj Zizek menyinggung, pandemi memperlihatkan politisi-politisi yang sama sekali bukan sosialis seperti Donald Trump dipaksa untuk melakukan persiapan untuk mengambil alih sektor swasta jika dianggap perlu dan Boris Johnson dipaksa melakukan nasionalisasi secara sementara atas jaringan kereta api Inggris.
Barangkali pula kelompok-kelompok peduli lingkungan akan mendorong kita untuk semakin mencintai dan merawat alam semesta agar kita dapat terhindar dari menyebarnya patogen yang semestinya tetap berada dalam hutan. Namun, tanpa menggugat secara masal sistem sosial ekonomi dan merubah pola pikir secara mendasar, kita akan kehilangan kesempatan untuk melakukan sesuatu terhadap kapitalisme.
Jika kapitalisme bertahan, bahkan kemudian merevitalisasi dirinya dengan memanfaatkan pandemi ini ⸻yang sebetulnya menghantamnya dengan telak, barangkali kita akan dihadapkan dalam situasi yang disebut oleh Naomi Klein sebagai disaster capitalism. Dalam bukunya berjudul The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism (2007) terjelaskan model kapitalisme yang dapat belajar dan memanfaatkan keuntungan dari bencana yang dialami oleh manusia. Jika kapitalisme bertahan, kehidupan manusia akan senantiasa terancam oleh pandemi-pandemi berikutnya serta kehilangan peluang untuk merubah sistem yang tidak memanusiakan manusia. (AAR)
Hariyadi. Pengajar di Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed