Nestapa Tiga Saudara Derita Thallasemia

Dari Desa, Peristiwa371 Dilihat

Purwokertokita, Purbalingga- Tidak lagi mengkonsumsi obat. Tidak lagi merasakan perih jarum. Eva Tiana mengidamkan obat dan jarum tidak lagi jadi bayang-bayang hidupnya.

Eva berusia 13 tahun. Tujuh tahun sudah, ia mesti bolak balik dari rumahnya di Dusun Bawahan, Desa Gunung Wuled, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga ke RS Goetheng Tanuadibrata. Tiap bulan ia diharuskan transfusi darah. Saat berusia 6 tahun, Eva divonis mengidap thallasemia

Eva ingin seperti teman-teman sebayanya, “Ingin sekolah secara normal seperti anak-anak yang lain, ngga harus sering bolos karena sakit,” kata Eva, Minggu (21/6).

Tahun 2020 ini, Eva duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menuju ke sekolah, ia harus berjalan kaki selama 1 jam. Kondisi ekonomi keluarga, tidak memungkinkan bagi Eva untuk memanfaatkan jasa pengojek di kampungnya.

Ibu dari Eva, Giseroseni (47) sehari-hari bekerja sebagai buruh tani serabutan. Pendapatan keluarga hanya cukup untuk makan. “sisa uang kami kumpulkan agar bisa membayar ojek ke rumah sakit. Itupun kadang-kadang tidak langsung dibayar, nunggu ada uang lagi,” kata Giseroseni.

Di lingkungan keluarganya, Eva tak sendirian mengidap thallasemia. Dari empat buah hati pasangan Giseroseni dan Sunarso (47), tiga anak mengidap thallasemia. Anak pertama Sumiarti (26), mengidap peyakit tersebut ketika berusia 12 tahun. Sedang anak kedua, Keriyani (25) mengidap thallasemia sejak usia 14 tahun.

Giseroseni bercerita, kediaman mereka yang terpelosok membuatnya cukup kesulitan untuk mengetahui sejak awal jenis penyakit yang diderita oleh anak-anaknya. Baru setelah ke RS Goeteng, ia mengetahui, bahwa thallasemia yang kerap membuat anak-anaknya mengeluh lemas.

Sedang Sumiarti, merasa dijauhi teman-temannya karena takut akan tertular penyakitnya. Selain itu ia kerap mendapat cibiran ketika perutnya membuncit. Teman-temannya pernah mengira ia sedang hamil.

Aktivitas sehari-hari Sumiarti, menyulam bulu mata palsu yang populer disebut mengidep. Meski uang yang ia peroleh tak seberapa, kegiatan ini baginya dapat mengisi kegiatan dirumah. Pasalnya, kondisi kesehatannya tak memungkinkan bagi Sumiarti untuk bekerja diluar rumah.’

Ia dan adiknya, Keriyani, juga mesti berhenti sekolah karena sering alami sakit-sakitan. “Memang tidak melanjutkan lagi karena tidak ada biaya,” katanya.

Problem lain yang dialami keluarga ini di masa pandemi covid-19, mereka kesulitan untuk tranfusi darah. Pasalnya, jumlah stok darah di rumah sakit berkurang.

“Biasanya dapat 2-3 kantong, kalau sekarang paling 1 kantong, itupun kalo ada semua. Kalau ngga ada ya gantian transfusinya,” kata Sumarni sembari membereskan bulu mata palsu hasil kerjaannya. (INA/ AAR)

Tinggalkan Balasan