Purwokertokita.com – Mendoan selama ini sudah menjadi salah satu makanan khas dari Kabupaten Banyumas yang tingkat popularitasnya tinggi, selain getuk goreng,nopia, soto atau makanan khas lainnya. Rasanya yang nikmat dan menggugah selera, menjadikan makanan berbahan baku tempe dari kedelai ini digemari oleh para pelancong yang datang ke Banyumas.
Penyebutan mendoan sebagai makanan khas Banyumas tentunya sudah tepat, kata ‘khas’ memiliki arti khusus atau teristimewa. Ya, mendoan memang menjadi sesuatu yang khusus atau istimewa di Banyumas. Kekhasan ini yang juga membuat daerah Banyumas populer sebagai ‘Kota Mendoan’.
Meski mendoan telah populer sebagai makanan khas daerah Banyumas, hingga saat ini masih ada pertanyaan yang belum terjawab, apakah benar mendoan asli Banyumas? Seperti apa asal-mula mendoan di Banyumas?
Asal-mula mendoan tentunya bukan tentang asal kata mendoan yang selama ini banyak disebutkan berasal dari kata “mendo”, memiliki arti setengah matang. Alasannya karena mendoan memang dimasak setengah matang sebagai salah satu cirinya, selain perpaduan bumbu dan daun bawang yang menjadikan rasanya enak. Alasan ini tidak bisa menjawab pertanyaan tentang asal-mula mendoan di Banyumas.
Kita masih ingat pada November 2015, sempat terjadi polemik tentang mendoan di Banyumas. Polemik ini muncul ketika merek dagang Mendoan didaftarkan oleh Fudji Wong, seorang pengusaha air minum sejak tahun 2008. Fudji resmi memiliki hak eksklusif merek Mendoan dengan nomor sertifikat IDM000237714 dan terdaftar mulai 23 Februari 2010 hingga 15 Mei 2018 yang terdaftar di Ditjen HKI.
Fudji Wong, mengaku mendaftarkan merek dagang Mendoan dengan maksud, tujuan dan motivasi agar merek ini tidak keluar dari masyarakat Banyumas. Menurut Fudji, ia pernah belajar tentang mendoan kepada tokoh yang terkenal karena usaha mendoan di Banyumas, Haji Uus. Saat masih hidup, Haji Uus berpesan kepadanya agar jangan sampai keluar dari orang banyumasan.
Dari awal munculnya pro dan kontra di masyarakat terkait hal ini, Fudji sudah menyampaikan akan mengembalikan kepada masyarakat atau Pemerintah Kabupaten Banyumas jika dianggap apa yang dilakukannya adalah hal yang tidak sesuai.
Namun, sebagian besar masyarakat Banyumas yang tidak menilik kejadian ini secara berimbang, terlanjur marah dan melakukan tindakan-tindakan yang sempat mengarah pada rasialisme. Ungkapan-ungkapan yang tidak baik muncul di media sosial dan menjadi perdebatan yang hangat.
Polemik ini selesai ketika Fudji Wong memenuhi janjinya menyerahkan hak ekslusif merek Mendoan ke Pemerintah Kabupaten Banyumas, Rabu (18/11/15). Fudji mengaku nama mendoan akan lebih aman jika dipegang oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas.
Dikembalikannya hak eksklusif merek Mendoan kepada Pemerintah Kabupaten Banyumas juga tidak memunculkan jawaban tentang asal-mula mendoan di Banyumas.
Pertanyaan tentang asal-mula mendoan pernah saya sampaikan kepada beberapa teman pegiat budaya yang menurut saya paham dengan budaya Banyumasan, tapi belum ada satu pun yang bisa menjawabnya. Sejak kejadian polemik tentang merek dagang mendoan, saya juga berusaha mencari sumber bacaan dan referensi lainnya, namun belum ada satu pun yang menyebutkan tentang asal-mula mendoan di Banyumas.
Pertanyaan ini juga pernah saya tanyakan pada sebuah forum bersama para perajin tempe mendoan di Desa Pliken Kecamatan Kembaran, yang menjadi desa sentral perajin tempe mendoan di Banyumas. Forum diskusi pada 11 November 2016 ini, membahas tentang perkembangan perekonomian dan popularitas Tempe Mendoan Banyumas.
Sebelum mengarah pada peningkatan perekonomian dan popularitas, saya mengajak para perajin tempe mendoan untuk menemu-kenali kembali identitas tempe mendoan. Pemerintah Desa Pliken kemudian mengutarakan gagasan, akan membentuk tim perumus yang akan melakukan penggalian tentang sejarah desa dan sejarah perekonomian masyarakat khususnya perajin tempe mendoan.
Saat ini ada 500 lebih perajin tempe mendoan di Desa Pliken yang merupakan generasi ketiga dari perajin tempe mendoan. Namun sampai tulisan ini saya buat, belum ada kabar terkait perkembangan gagasan dari Pemerintah Desa Pliken tersebut.
Berbeda dengan mendoan, getuk goreng Sokaraja sudah lama kita ketahui asal-mulanya, ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 1918 oleh Sanpirngad, seorang penjual nasi keliling di daerah Sokaraja.
Cerita lainnya adalah tentang Nopia, makanan khas Banyumas yang pada awalnya dipopulerkan oleh keluarga keturunan Tionghoa yang tinggal di Banyumas sekitar tahun 1880. Kue kering ini kemudian dikenalkan pada masyarakat lokal Banyumas tanpa mengenal etnik dan latar belakangnya, hingga bisa diterima oleh masyarakat pada saat itu. Hingga kini jejak perkembangannya dengan mudah bisa kita temui di desa Sudagaran, Pakunden dan Kalisube Kecamatan Banyumas yang terletak di kawasan Kota Lama Banyumas.
Lalu bagaimana dengan asal mula medoan? Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Banyumas untuk menemukan jati diri mendoan. Saya berharap ada yang membantah tulisan saya ini dan mengutarakan tentang cerita atau sejarah sebenarnya asal-mula mendoan di Banyumas. Dengan begitu saya tidak perlu menyebut “mendoan tidak punya jati diri”.
Yudi Setiyadi