Mendoan ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda (WBTb) dalam Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2021. Ketetapan itu dicapai oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi setelah sidang di Jakarta, Oktober lalu.
Penetapan mendoan sebagai WBTb itu tentu membanggakan, bagi siapa? Bagi warga Kabupaten Banyumas tentunya. Atau pihak terkait ataupun pmerintah daerah yang getol mendaftarkan mendoan sebagai WBTb.
Maklum, penetapan WBTb itu akan membawa dampak positif bagi kelestarian kuliner itu. Dengan kata lain, mendoan menjadi lebih populer. Kuliner itu akan diburu ketika warga atau wisatawan luar kota bertandang ke Banyumas. Pedagang kuliner khas itu akan ikut bahagia karena omset meningkat. Tapi sekali lagi, itu mungkin hanya akan berlaku di Kabupaten Banyumas.
Mana Bukti Mendoan Khas Kabupaten Banyumas?
Saya warga Kabupaten Banjarnegara, yang masih terikat dengan budaya Banyumasan, justru agak miris melihatnya. Bagaimana ceritanya, mendoan diklaim sebagai kuliner khas Banyumas, dalam hal ini Kabupaten Banyumas.
Di tempat saya, Kabupaten Banjarnegara, mendoan juga dianggap makanan khas. Kuliner ini mudah ditemukan di setiap warung di daerah ini. Saya kira, kuliner ini juga banyak dijumpai di kabupaten lain di wilayah eks Karesidenan Banyumas di luar Kabupaten Banyumas, misalnya Purbalingga, Cilacap, bahkan Kebumen.
Istilah Mendoan yang berasal dari kata Mendo, berarti dimasak setengah matang, juga kosa kata Banyumasan atau bahasa Penginyongan, bukan bahasa khusus milik Kabupaten Banyumas.
Di Kabupaten Banjarnegara, juga kabupaten lain di eks Karesidenan Banyumas, mendoan sebagai kebudayaan juga sudah ada sejak zaman dahulu dan dilestarikan turun temurun.
Jika mendoan yang ditetapkan Warisan budaya tak benda sebagai makanan khas Kabupaten Banyumas, tunjukkan pada saya, apa bukti kuliner itu khas milik Kabupaten Banyumas? Sejarah mana yang menunjukkan, cikal bakal pembuatan mendoan dari Kabupaten Banyumas? Siapa yang membuat pertama kali kuliner itu? Dimana tempatnya?
Jika tak mampu menunjukkan bukti itu, penyebutan mendoan sebagai makanan khas Kabupaten Banyumas hanyalah klaim semata. Sangat disayangkan, penetapan mendoan sebagai Warisan Budaya tak Benda oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi harusnya tidak merujuk pada kabupaten tertentu.
Beda Budaya Banyumasan dengan Kabupaten Banyumas
Mendoan adalah warisan budaya masyarakat yang terikat kebudayaan Banyumasan, bukan Kabupaten Banyumas yang terbatas wilayah administratifnya. Masyarakat dengan budaya Banyumasan tersebar di beberapa daerah, dari Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjarnegara.
Warga Banjarnegara, Cilacap, maupun Purbalinggga juga biasa disebut atau menegaskan diri sebagai warga Banyumas, namun Banyumas sebagai entitas kebudayaan atau rumpun, bukan warga dengan KTP Kabupaten Banyumas.
Ini tidak ada beda dengan budaya Banyumasan lain semisal Kenthongan, Jathilan atau Ebeg yang juga berkembang bukan hanya di Kabupaten Banyumas, namun juga di kabupaten-kabupaten tetangga yang serumpun.
Jangan sampai, produk kebudayaan itu diklaim sebagai budaya khas yang seakan milik satu kabupaten saja.
Pemerintah pusat juga mestinya jeli untuk menetapkan warisan budaya tak benda. Harus dilihat dan dikaji betul, apakah budaya yang didaftarkan khas kabupaten tertentu, atau berkembang di kabupaten lain yang menandakan ada “kepemilikan bersama”.
Ini persoalan serius pastinya. Penetapan mendoan sebagai WBTb bukan seremonial semata. Ada dampak besar setelahnya. Setiap kabupaten punya kepentingan masing-masing untuk memajukan daerahnya. Dan budaya di era sekarang bisa “dijual” untuk promosi daerah berikut turunannya, dari wisata hingga “bisnis” produk kebudayaan.
Kalau setiap budaya Banyumasan diklaim Kabupaten Banyumas, saya warga Kabupaten Banjarnegara dapat apa pak?