Media Lokal dan Politik Uang dalam Pilkada

Ombudsman128 Dilihat

manunggal

Tulisan berikut ini merupakan hasil perenungan Dosen Fakultas Hukum Unsoed, Manunggal Kusuma Wardaya. Meskipun konteksnya terjadi tahun 2008, namun hingga kini masih sangat relevan. Terutama untuk gelaran Pilkada serentak di Purbalingga tahun ini dan Banyumas di tahun 2017.

Manunggal adalah dosen yang nyentrik. Penyuka musik baik lawas maupun baru. Rambutnya pernah gondrong, kini mulai jarang. Dikenal dekat dengan mahasiswa dan gampang diajak diskusi tentang apa saja. Tak terkecuali tentang cinta dan kenangan atas mantan.

Monggo direnungkan tulisan ini, terumata untuk wartawan yang hari ini cenderung partisan saat Pilkada.

Menjelang beberapa pilkada yang akan digelar di tingkat kabupaten/kota maupun propinsi pada 2008, sejumlah calon kepala daerah di Jawa Tengah semakin gencar melakukan sosialisasi tentang profil, visi misi, dan programnya.

Berbagai isu strategis yang dianggap mampu mendongkrak popularitas ditonjolkan mulai dari sentimen putra asli daerah, prestasi sebagai pejabat dalam rezim yang sedang berkuasa (incumbent), program pengentasan kemiskinan, hingga keunggulan peringkat dalam jajak pendapat.

Dalam melakukan pendekatan terhadap publik, hampir semua calon memanfaatkan media lokal, baik cetak maupun elektronik. Bisa dimengerti, media mampu menjangkau khalayak sasaran yang lebih luas dibandingkan berbagai cara konvensional seperti rapat umum, pemasangan spanduk, baliho, atau penempelan stiker.

Perkembangan teknologi informasi dan multimedia memungkinkan sosialisasi calon kepala daerah disajikan dalam format yang lebih memikat dan tak begitu dirasakan publik sebagai kampanye. Kita menyaksikan berbagai sosialisasi calon kepala daerah dikemas tidak saja dalam bentuk iklan display, namun juga berita advertorial dan dialog interaktif yang melibatkan sejumlah stasiun radio dan televisi swasta.

Di Banyumas, seorang calon bupati bahkan menjadi sponsor tunggal kontes adu bakat muda-mudi yang ditayangkan oleh televisi lokal.

Momen pilkada menciptakan relasi saling menguntungkan antara media lokal dan para kandidat calon kepala daerah. Kebutuhan setiap calon akan sosialisi diterjemahkan media sebagai peluang emas untuk meraup pemasukan guna meneguhkan atau bahkan mempertahankan eksistensi di tengah ketatnya persaingan bisnis media lokal (Kompas, 20/8).

Dapat dimengerti, media bukanlah ‘persembahan dari surga’ sehingga tetap membutuhkan kontinuitas dana untuk menunjang aktifitasnya. Di sisi lain, para calon kepala daerah memandang media lokal dengan segala kelebihannya sebagai sarana strategis yang tidak bisa tidak harus digunakan dalam rangka menarik sebanyak mungkin perhatian, simpati, dan dukungan calon pemilih.

Terjadilah kemudian konsensus tak tertulis untuk saling menjaga kepentingan satu sama lain. Media menyediakan diri untuk menampilkan apapun sesuai keinginan seorang calon selama calon tersebut tetap memiliki komitmen untuk menggunakan jasanya. Sebaliknya para calon akan terus menggunakan jasa media selama suatu media memiliki komitmen untuk menampilkan apapun sesuai yang diingini, atau setidaknya yang selaras dengan kepentingan calon.

Sepintas relasi demikian adalah sesuatu yang lumrah terjadi antara penyedia jasa dan kliennya sebagaimana yang terjadi dalam transaksi jasa lainnya. Namun persoalannya menjadi lain manakala diingat bahwa media sesungguhnya mengemban fungsi kodrati yakni kontrol sosial. Media adalah tumpuan, ujung tombak yang diharapkan warga agar mampu memaparkan apapun yang berkaitan dengan kepentingan publik sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan sikap politik, yang antara lain diputuskan dalam pemilu.

Dalam konteks pilkada, publik berharap agar media lokal mampu secara kritis mengupas tuntas latar belakang setiap calon penguasa daerah berikut program yang ditawarkannya, sehingga publik memiliki pengetahuan yang cukup akurat guna menjatuhkan pilihan dengan tepat di bilik suara nantinya. Asumsi yang mendasari ekpektasi publik sederhana saja; media lokal adalah media yang dianggap tahu atau semestinya paling paham seluk beluk permasalah lokal.

Sayangnya, alih-alih menjadi pengawal demokrasi pada tataran lokal, yang banyak terjadi adalah media lokal justeru bermain mata dengan calon pemegang kekuasaan. Keuntungan yang didapatkan dan terus diharapkan dari para calon penguasa daerah baik selama masa sosialisasi maupun jika kelak menjabat menjadikan media lokal kerapkali tidak saja bersikap lunak, namun bahkan fasilitatif total terhadap kepentingan calon kepala daerah. Bukannya menurunkan laporan yang sesuai dengan kredo bad news is good news demi kepentingan umum, kita mengamati begitu banyak media lokal justeru berlomba-lomba menampilkan yang terbaik dan terindah tentang elit politik yang menjadi kliennya.

Serangkaian program yang digelar mulai dari talk show hingga dialog interaktif kesemuanya mempunyai ending yang sama: puja-puji untuk sang calon. Sepanjang seorang calon mampu menjalin “hubungan baik” dengan media, calon tersebut bisa menentukan apa yang ingin dimuat, bagaimana pemberitaan (coverage) tentang dirinya mesti dikemas dan seterusnya. Hal ini diperparah dengan sikap sebagian insan media di lapangan yang begitu toleran, bahkan gembira dengan berbagai macam “tali asih” dan “amplop” dari nara sumber serta tidak menganggapnya sebagai bagian dari kooptasi atau lebih-lebih sebagai pengkhianatan profesi, sesuatu yang pernah secara khusus menjadi keprihatinan wartawan senior Mochtar Lubis..

Kuasa uang membuat media lokal melupakan khittahnya sebagai pilar keempat demokrasi di tingkat lokal dan sebaliknya menyediakan dirinya untuk menjalankan fungsi public relation bagi kepentingan calon kepala daerah berikut misi pencitraan politiknya. Daya kritis media melumer berganti dengan kerlingan penuh makna terhadap kekuasaan. Kalaupun media memiliki informasi yang menyangkut negativitas rekam jejak seorang kandidat, informasi semacam itu akan tetap tersimpan dalam file redaksi tanpa pernah diturunkan kepada khalayak. Menurunkan berita atau laporan tentang kelamnya jejak rekam dan kapabilitas seorang calon yang patut diketahui oleh publik bukan lagi dianggap heroik, sebaliknya dinilai sebagai tindakan konyol karena sama saja dengan bunuh diri..

Secara normatif, Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers berikut penjelasannya telah mewanti-wanti agar fungsi sebagai lembaga ekonomi dijalankan dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Pasal 4 Undang-undang yang sama mengidealkan independensi media dari campur tangan apapun dalam menjalankan aktifitasnya guna menjamin hak masyarakat dalam mendapatkan informasi. Maka ketika media lokal terbius (bahkan dengan sukarela) oleh kekuatan politik uang dan lebih menghamba pada fungsinya sebagai lembaga ekonomi, sesungguhnya media semacam itu telah melupakan kewajiban asasinya sebagai pengemban amanah kedaualatan rakyat. Media yang melakukan korupsi informasi semacam itulah yang ketika pemilu tiba menjadikan publik tidak mempunyai bekal pengetahuan yang cukup untuk dibawa ke bilik suara.

Pilkada yang digelar pada gilirannya hanya akan menghasilkan pemimpin yang tak seindah yang dibayangkan sebagaimana pernah secara sinergis dicobakesankan oleh media dan calon kepala daerah. Oleh karenanya jika kelak di kemudian hari pemimpin yang dihasilkan tersebut justeru mengangkangi hak-hak dan kepentingan rakyat, sudah sepantasnya bila gugatan tidak saja diarahkan kepada pemimpin itu semata, namun juga terhadap media lokal yang menghamba padanya. Terhadap media seperti itu pulalah pantas kiranya dijatuhkan bredel publik, yakni suatu bentuk mosi tidak percaya dan boikot warga atas suatu media yang duduk bersimpuh di depan kuasa uang dan bukannya mengabdi pada kepentingan umum.

Tinggalkan Balasan