AJI Keluarkan Pedoman Pemberitaan Isu LGBT

Ombudsman105 Dilihat
Anggota AJI Purwokerto menggelar aksi peringatan Hari Buruh, beberapa waktu lalu.  (Purwokertokita.com)
Anggota AJI Purwokerto menggelar aksi peringatan Hari Buruh, beberapa waktu lalu.
(Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Diskusi tentang LGBT di Indonesia kini sedang membuncah. Baik di kalangan jurnalis maupun perdebatan di sosial media.

Ada sejumlah aturan yang bisa menjadi pijakan jurnalis dalam menulis berita tentang isu LGBT. Berikut ini siaran pers yang dikeluarkan oleh Aliansi Jurnalis Independen soal pedoman pemberitaan LGBT.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencermati gencarnya pemberitaan terkait isu-isu sensitif keberadaan kelompok termarjinal secara struktural dan sosial akhir-akhir ini, khususnya terkait lesbi, gay, biseksual dan transgender (LGBT). AJI melihat ini adalah bentuk perhatian media pada kelompok marjinal ini. Hanya saja AJI Indonesia menilai beberapa pemberitaan berindikasi melanggar UU Pers, Kode Etik Jurnalistik maupun Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) 2012.

Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, pasal 6 mengamanatkan pers nasional melaksanakan peranan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.

Dalam Kode Etik  yang dirumuskan 29 organisasi profesi pada 2006, pasal 1 mengamanatkan “Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Sedangkan pada Pasal 8: “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.”

Pada bagian penafsiran pasal ini dijelaskan, prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas dan diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pun dalam Pedoman Prilaku Penyiaran Standar Program Siaran (P3SPS) 2012, Bab XI pasal 15 ayat 1, mengamatkan tentang perlindungan kepala orang dan kelompok masyarakat tertentu, termasuk didalamnya, “Orang atau kelompok dengan orientasi seksual atau identitas gender tertentu.” Pada ayat 2 mengatur lembaga penyiaran tidak boleh menyiarkan atau menyajikan program yang menertawakan, menghina atau merendahkan kelompok masyarakat, termasuk di dalamnya orang atau kelompok dengan orientasi seksual atau identitas gender tertentu.

Sedangkan pada BAB XVIII P3SPS juga menekankan lembaga penyiaran mengedepankan Prinsip-Prinsip Jurnalistik. Di antaranya menjunjung prinsip keberimbangan, adil, tidak beritikad buruk dll. 

Pada pemberitaan yang diturunkan media akhir-akhir ini terkait isu LGBT, AJI Indonesia melihat terdapat beberapa kelalaian sesuai ketentuan di atas. Media cenderung tidak berimbang, tidak jernih mengulas permasalahan, serta berpontensi melakukan kekerasan simbolik terhadap kelompok marjinal dalam pemberitaan.

AJI Indonesia mengimbau media tidak melakukan diskriminasi, menaati KEJ dan P3SPS 2012 dalam pemberitaan. AJI juga mendorong Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan amanat undang-undang, untuk masa depan pers Indonesia yang lebih baik.

Kepada masyarakat yang merasa dirugikan terkait pemberitaan, AJI mendorong menggunakan mekanisme yang telah diatur dalam UU Pers dan diadopsi dalam KEJ, yaitu hak jawab dan koreksi. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Hak jawab dan koreksi ini dapat langsung dilayangkan kepada redaksi atau melalui ombudsman media. Media berkewajiban melayani kedua hak masyarakat ini secara arif sesuai amanat UU Pers Pasal 5 dan KEJ Pasal 11. Jika masyarakat menilai itikad baik ini tidak mendapatkan tanggapan dari media, AJI mendorong masyarakat menggunakan jalur pengaduan kepada Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia.

Tinggalkan Balasan