Miris, Cunding Levi Dipecat Sepihak oleh Tempo

Ombudsman292 Dilihat

Cunding Levi, memegang mic di suatu acara. (Istimewa)

Sebuah kisah dari Cunding Levi:

Demi Detail dan Eksklusivitas Wartawan Tempo di daerah dituntut memiliki kualitas kerja seperti rekan-rekannya di Jakarta. Jika memenuhi syarat dan bersedia, mereka bisa bekerja di “kantor pusat”.

Cunding Levi baru tersadar ia terjebak di tengah massa saat polisi, lewat pengeras suara, memberikan peringatan: “Kalian sudah kami potret dan rekam, jadi tak usah macam-macam. Lebih baik bubar.” Beberapa saat setelah suara menghilang, bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa pun pecah. Hujan batu dari pengunjuk rasa dan peluru karet dari senjata polisi pun berhamburan.

Pertengahan Maret 2006 itu,Cunding, koresponden Tempo di Jayapura, tengah meliput aksi unjuk rasa di Jalan Abepura-Sentani di depan Universitas Cenderawasih. INi demo besar-besaran yang dilakukan oleh mereka yang menamai diri Front Aksi Nasional Penutupan Freeport. Dua batalion dikerahkan untuk membubarkan massa.

Di tengah bentrokan inilah sesuatu yang tak diduga Cunding terjadi. Massa mengira ia intel polisi. Tak hanya dilempari, ia dipukuli. Cunding terjatuh. Ia pingsan dengan hidung berdarah. Seseorang kemudian menyelamatkannya.

Saat sadar, yang pertama dicari Cunding adalah kamera sakunya. Beruntung, kamera itu selamat. “Semua hasil pekerjaan saya untuk Tempo ada di situ.” Beberapa saat kemudian, Cunding sudah kembali ke lokasi unjuk rasa untuk bekerja lagi.

Peristiwa itu kemudian dikenal dengan nama Tragedi Cenderawasih. Laporan Cunding ini—ia dibantu istrinya, Lita, yang saat itu juga bekerja untuk Tempo—dimuat di edisi 20-26 maret 2006 dengan judul “Kebrutalan di Sebuah Jembatan”.

Buntut tulisan ini, Cunding kemudian juga dikunit polisi. Polisi rupanya mengira ia bagian dari pengunjuk rasa. Para wartawan di Jakarta belakangan baru tahu Cunding menjadi korban justru dari berita televisi. Pemimpin Redaksi Tempo Bambang Harymurti, yang waswas dengan keselamatan Cunding, menawari pria berambut keriting itu keluar dulu dari Jayapura. Cunding menolak.

Mencintai profesinya sepenuh hati, mungkin itulah yang membuat wartawan Tempo, meminjam istilah sejumlah orang, militan. Tak hanya dalam meliput benda hidup, tapi juga “benda mati”.

Tempo memang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi koresponden untuk bergabung dengan teman-teman mereka di “pusat”, Jakarta. Salah satu kriterianya, mereka mesti berprestasi dan teruji di lapangan. Jika setuju, mereka akan menjalani tes laiknya rekan mereka di Jakarta. Tempo kini memiliki koresponden di hampir semua ibu kota provinsi.

Kisah Cunding Levi itu tertulis dalam Buku “Cerita di Balik Dapur Tempo”, bagian Kecap Dapur Tempo 1971-2011, halaman 94-96 yang terbit tahun 2012.

Tiga tahun setelah buku ini terbit, pada 27 November 2015, Cunding Levi begitu terkejut saat menerima email. Dia nyaris tak percaya jika tempatnya bekerja sejak tahun 2000 itu memecatnya. Tanpa penghargaan dari seluruh pengabdiannya selama 15 tahun.

“Janganlah memperlakukan koresponden dengan semena-mena. Saya selama ‘membantu’ Tempo dari Papua dengan berdarah-darah selama 15 tahun di-PHK seenaknya, seakan-akan baru kenal sehari atau dua hari,” ungkap ayah tiga anak ini seperti yang ditulis Jojo Raharjo dalam https://jojoraharjourney.wordpress.com/2016/02/23/mencari-kata-sepakat-koresponden-dan-manajemen-media/#more-4896

Dikutip dari laman Facebook, Serikat Pekerja Tempo, Sepakat Indonesia.

Tinggalkan Balasan