Purwokertokita.com – Spanduk yang dipasang Pemerintah Kabupaten Banyumas bekerjasama dengan Bank Jateng kini sudah tak ada lagi. Kelompok garis keras anti istilah Ngapak memprotesnya. Spanduk yang dipasang untuk memperingati HUT Banyumas pada 22 Februari nanti sudah diturunkan dan belum ada gantinya.
Spanduk tersebut bertuliskan, “Inyong Bangga Nganggo Ngapak, Ngapak Pancen Kepenak”. Sejak dipasang, netizen Purwokerto melalui sejumlah akun media sosial, mempersoalkannya. Dari pantauan Purwokertokita.com, pada Kamis sore spanduk tersebut masih ada, namun pada Jumat sore spanduk itu sudah tak terlihat lagi.
Salah satu yang mempersoalkan spanduk itu adalah Ronggo Sujali. Melalui akun Facebook-nya, menuding Pemkab Banyumas kebingungan dalam membuat isi materi spanduk. “Bahasa ibu harus dihormati,” ujarnya.
Ia dan sejumlah haters istilah Ngapak menilai, istilah itu merupakan penghinaan terhadap bahasa Ibu. Ia lebih memilih Bahasa Banyumasan atau Bahasa Panginyongan.
Agus Sumaryono, jurnalis The Jakarta Post tidak sepakat dengan pendapat itu. Menurut dia, istilah Ngapak hanyalah istilah populer dari Bahasa Banyumasan. “Persoalan bagaimana munculnya istilah Ngapak itu tidak ada yang tahu. Itu dibahas di Ilmu Linguistik Bab Etimologi atau sejarah kata, atau dalam bahasa Arab Tarikh Lughoh,” katanya menimpali.
Lagi pula, kata dia, tidak ada yang bisa memverifikasi bahwa istilah Ngapak merupakan istilah untuk mengolok-olok. Ngapak adalah istilah yang dipakai oleh orang luar Banyumas untuk menyebut atau mengidentifikasi Bahasa Banyumasan yangg serba akhiran A.
“Dan dengannya, malah kita menjadi punya istilah menasional yg kemudian diidentifikasikan dengan Budaya Banyumasan. Nggak apa apa.. dan tidak semuanya malu dengan istilah Ngapak. Buktinya sekitar satu juta org Banyumas bangga dg istilah ngapak,” katanya.
Ia menambahkan, istilah Ngapak sendiri tidak punya arti apa-apa secara leksikal. “Jangankan Ngapak yang tidak memiliki arti khusus. Sebuah Kata yang tadinya bermakna negatif pun suatu saat bisa hilang makna negatifnya ketika suatu saat sejarah mengubahnya menjadi kata lain yg mirip dengan makna kata asal. Contoh kata Jomblo itu berasal dari kata JOMLO dari bahasa Sunda yg artinya adalah perawan tua yang tidak laku-laku di sana. Jomlo adalah sebutan memalukan di sana. Namun saat ini, apakah istilah Jomblo adalah sebuah istilah yang memalukan ? Tidak kan?” kata Agus menambahkan.
Atas perdebatan itu, Humas Pemkab Banyumas Agus Noor Hadi mencoba menengahi. “Terimakasih atas ktitik saran dan masukan. Sudah barang tentu kami tim Bagian humas dan protokol tidak ada maksud dan tujuan pelecehan tapi niat kami membangun rasa bangga dg logat bahasa yg kita miliki . Tapi kami mohon maaf apabila ada warga masyarakat Banyumas yang tersinggung karena slogan itu dan akan kami sempurnakan lagi,” katanya.