Cerita Perjuangan Ilman, Pembuat Film Berprestasi yang Tidak Didukung Sekolahnya

Komunitas166 Dilihat
Ilman Nafai (18), pelajar yang menjadi sutradara film peraih penghargaan Piala Dewantara Apresiasi Film Indonesia 2016 kategori dan juga film Dokumenter Terbaik FFP 2016.

Purwokertokita.com – Ilman Nafai (18), sutradara film “Kesambet” yang dinobatkan sebagai Film Fiksi Terbaik kategori Pelajar SMA pada Festival film Purbalingga (FFP) 2017, awal Agustus lalu, sering dipanggil dengan sebutan “anake bakul sriping”.

Sebutan yang disematkan pada dirinya tak lantas membuat Ilman berkecil hati, dia tetap berkreasi melalui karya film pendeknya yang cukup berani.

Film garapannya yang bertajuk “Kesambet” ini bertutur tentang seorang pemuda yang terjebak dalam perilaku penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya. Anehnya, yang dikonsumsi adalah obat batuk dalam jumlah yang banyak.

Ide cerita film ini dari kisah nyata di sekitar lingkungannya. Banyak pemuda desa yang kerap mengonsumsi obat batuk kemasan dengan tujuan agar cepat mabok.

“Kebetulan di Desa Rembang banyak anak muda yang konsumsi obat batuk secara berlebih. Lah gunanya ya buat mabok. Alternatif mabok yang murah dan nikmat kata mereka,” ujar putra dari pasangan Miswoto Darsono dan Khasiati ini.

Saat proses pembuatan film sedang berlangsung, Ilman dan rekan-rekan di ekstrakurikuler sinematografi SMAN 1 Rembang Purbalingga dipanggil oleh pihak sekolah. Kejadian itu merupakan buntut dari film dokumenter garapan Ilman sebelumnya yang berjudul “Kami Hanya Menjalankan Perintah Jenderal!”.

Film dokumenter yang bercerita tentang korban tragedi ’65 berisikan penuturan tiga eks Resimen Cakrabirawa atau dikenal dengan Pasukan Pengawal Presiden Soekarno. Film garapan Gerilya Pak Dirman Film ini, meraih penghargaan Piala Dewantara Apresiasi Film Indonesia 2016 kategori dan juga film Dokumenter Terbaik FFP 2016.

“Ada lima anak yang dipanggil pihak sekolah katanya gara-gara bikin film lagi. Padahal kami juga sudah minta ijin ke sekolah dan yang ikut bikin film seharusnya ada delapan anak,” ujar pelajar yang duduk di kelas XII IPA 1 ini.

Dampak dari aktivitas anak ke empat dari lima bersaudara ini adalah dibekukannya ekstrakurikuler sinematografi ”Pak Dirman Film”. Artinya, Ilman dan kawan-kawannya harus membuat film dengan biaya sendiri.

Kondisi tersebut tidak membuatnya putus asa. Ilman tetap nekat untuk menyelesaikan pembuatan film tersebut. “Untungnya masih ada kas Gerilya Pak Dirman Film. Jadi kami tetap bisa membuat film,” ujarnya.

Meski banyak kendala yang dia hadapi dan banyak pihak yang tidak setuju dengan karyanya, pemuda kelahiran 24 Agustus 1999 ini, tetap menyimpan cita-citanya sebagai sutradara.

Kelak, dia ingin melanjutkan pendidikan dan memperdalam pengetahuannya tentang film. “Ingin melanjutkan kuliah dan tetap bisa membuat film, ingin membuat orang tua bangga,” pungkasnya. (NS/YS)

Tinggalkan Balasan