Pelajar Purbalingga Angkat Kisah Orang Tionghoa Semasa Orde Baru

Komunitas236 Dilihat

Purwokertokita.com – Pada masa kekuasaan Orde Baru, orang-orang Tionghoa kerap mengalami berbagai pengekangan. Mulai dari kewajiban untuk mengubah nama menjadi nama Indonesia, sampai pelarangan untuk menganut agama leluhur mereka.

Kisah tentang kehidupan orang-orang Tionghoa saat melewati kekuasaan era rezim Soeharto ini menginspirasi pelajar SMK Negeri 1 Purbalingga. Siswa yang tergabung dalam Smega Movie ekstrakulikuler sinematografi menggarap film dokumenter pendek bertajuk “Orang-orang Tionghoa.

Sutradara film ini, Icha Feby Nur Futikha mengatakan, setelah melakukan riset, ia dan teman-teman mengangkat tiga subyek dalam film yang dibedakan berdasarkan agamanya. Mulai dari warga Tionghoa yang dari dulu tetap beragama Konghucu, lalu beragama Katolik serta warga yang telah memeluk Islam.

“Mereka pernah diwajibkan mengganti nama aslinya dengan nama Indonesia pada masa Presiden Soeharto bila ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Termasuk ketiga subyek dalam film itu karena adanya Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang Peraturan ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Cina,” jelas siswi kelas X jurusan Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran (OTKP) ini.

Menurut Icha, membuat film dokumenter itu mengasyikan. Meskipun pada awalnya terasa membosankan.

“Namun semakin banyak informasi yang kami dapat, ternyata ada tantangan disitu. Kami mendapat pengetahuan yang sama sekali tidak kami dapatkan di bangku sekolah,” tegasnya.

Perjuangan

Perjuangan panjang orang-orang Tionghoa ini, kata periset film, Rena Aryana Putri, dialami oleh subyek yang sampai saat ini menganut agama Konghucu yaitu Ambing Setiawan.

“Pada tahun 1975, Om Ambing pernah rela KTP-nya ditulis Kristen di kolom agama. Ya itu karena saat Orde Baru, hanya lima agama yang diakui negara,” ungkap siswi kelas XI jurusan Pemasaran.

Selain soal agama Konghucu yang tidak diakui negara, di masa Orde Baru, kebudayaan Tionghoa juga turut diberangus. Orang tidak bebas menyaksikan kesenian Liong, Barongsai, dan Wayang Potehi seperti sekarang ini.

“Baru setelah Reformasi yang dimulai era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur, agama Konghucu dan budaya Tionghoa mulai menghirup udara bebas hingga Presiden Joko Widodo sekarang,” jelas Rena.

Dia menuturkan, film yang tengah merampungkan tahap penyuntingan ini menjadi penanda SMKN 1 Purbalingga kembali berpartisipasi pada penyelenggaraan Festival Film Purbalingga (FFP) setelah absen selama tiga tahun. Film ini bakal beradu pada program kompetisi pelajar FFP 2019 se-Banyumas Raya.

Namun sayang, pihak sekolah tidak merespon kreativitas siswa-siswinya dalam memproduksi film ini. Dengan modal uang sendiri dan pinjaman kamera serta pendampingan dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, mereka berharap film ini akan diapresiasi oleh masyarakat secara luas. (NS)

Tinggalkan Balasan