Purwokertokita, Purwokerto- Ruang depan sampai ruang belakang bengkel Momo Virus Paint (MVP) di Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, dipadati oleh rangka-rangka besi sepeda. Sepeda-sepeda itu masih menunggu antrian untuk dijamah.
Momo, pemilik bengkel MVP tengah mengecat dua rangka sepeda. Dua bulan terakhir, Mei sampai Juni, ia merasa kewalahan. Momo beristirahat sejenak sembari menunggu cat mengering. Berdiri di depan pintu bengkel jari telunjuknya mengarah ke atas lemari kayu.
“Sepeda-sepeda itu baru selesai saya cat. Dua bulan ini sudah puluhan sepeda saya rakit dan cat,” kata Momo.
Hampir saban hari, ia menerima 3-6 sepeda maupun rangka sepeda. Jasa yang seringkali ia terima, restorasi sepeda mini menjadi minion. Kata Momo, sepeda mungil yang khas dengan frame lengkung atau leter U ini, memang tengah digandrungi oleh banyak kalangan.
Biasanya, frame lengkung itu diminta agar dicat dengan warna-warna cerah. Selain itu, bagian-bagian sepeda diperbaharui seperti misalnya group set gigi mulai dari tuas rem, tuas pemindah gigi sampai pemindah rantai. Perakitan lengkap, sebab panjangnya antrian, membutuhkan waktu 2 pekan.
“Kalau hanya cat rangka saja, kurang lebih 3 hari selesai,” kata Momo, “Rangka sepeda itu sudah dua bulan di sini. Pemiliknya belum dapat suku cadang yang cocok karena mulai langka di pasaran,” lanjut Momo sembari menunjuk salah satu rangka sepeda yang tergeletak di lantai.
Disebabkan berderetnya antrian, Momo pun terpaksa mengubah pola pemberian jasa. Dulu, ia bersedia membantu pelanggan untuk mencari suku cadang. Tapi kini, ia menyarankan pelanggannya untuk mencari suku cadang sendiri. Pasalnya, harga suku cadang cepat berubah seiring maraknya pembelian sepeda.
“Harga suku cadang gak stabil. Stock juga sering kosong. Saya gak mau resiko dengan pelanggan,” ujar Momo.
Berburu suku cadang
Amrizal, mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang jadi salah satu pelanggan Momo memahami lamanya pengerjaan perakitan itu. Ia pun mesti bersabar selama 2 bulan untuk merakit sepeda minion.
Amrizal bercerita mesti berburu suku cadang dari satu toko ke toko lain di perkotaan Purwokerto. Bahkan, ia mesti menyisir toko-toko daring. Satu bulan lebih, perburuannya selesai.
Kisah perburuan ini berawal dari rangka bekas sepeda mini merk Phoenix yang ia dapatkan seharga Rp 250.00 di layanan jejaring sosial. Amrizal pun memulai merancang minion yang ia idamkan. Rangka yang telah pudar itu dicat ulang. Suku cadang ia lengkapi satu demi satu. Tak terasa, biaya yang ia keluarkan Rp 4,5 juta.
“Baru saya pakai dua kali sepeda ini, dari rumah ke bengkel. Kesulitannya memang cari suku cadangnya. Tapi lucu juga, saya baru beli ban Rp 250 ribu. Langsung ada yang nawar Rp 500 ribu. Tapi saya gak mau jual lagi karena susah dapatnya,” kata Amrizal.
Bersepeda, bagi Amrizal sudah menjadi bagian kegemaran di lingkungan keluarganya. Sejak sekolah menengah pertama, ia akrab dengan sepeda. Sedang ketertarikannya pada sepeda minion, memang baru. Tak ia pungkiri, keputusannya merakit sepeda minion karena kerap melihat foto-foto di aplikasi berbagi foto dan video.
Bentuk minion yang mungil, memantik Amrizal ingin memiliki sepeda mini ini. Tapi, ia ingin sepedanya agak berbeda dengan tampilan minion lain yang cenderung cerah. Amrizal justru memilih warna cenderung gelap untuk frame sepedanya.
“Saya sendiri malah belum foto dengan sepeda ini,” gurau Amrizal.
Panjat Sosial
Di Kabupaten Banyumas, sebagaimana juga di sejumlah daerah lain, bersepeda memang tengah digemari warga sebagai aktivitas olah raga luar ruang sejak masa kenormalan baru pandemi Covid-19. Tak sulit mendapati, orang-orang dewasa sampai anak-anak mengayuh sepeda di jalanan pemukiman maupun pinggiran jalan raya. Baik pagi, siang, sore atau malam hari, para pesepeda acapkali nampak.
Firdany, penghobi sepeda yang akrab disapa Cungkring, gemar memodifikasi sepeda mini. Empat sepeda mini bekas yang ia restorasi jadi minion telah terjual di kisaran harga masing-masing Rp 3 juta. Menurutnya, sepeda minion digemari karena menuntut kreatifitas modifikasi yang unik serta estetik. Tantangannya, restorasi dan modifikasi tanpa mengorbankan nilai fungsi sepeda.
“Modifikasinya juga bisa dengan biaya rendah. Misalnya dengan menyisihkan uang Rp 1 juta sudah bisa jadi minion. Jadi wajar saja jika saat ini paling digemari. Karena beli sepeda baru, dengan model yang cocok, harganya bisa lebih dari Rp 1 juta,” kata Firdany saat ditemui di kediamannya di Purwokerto Utara.
Dany punya pendapat, maraknya kegemaran bersepeda karena olahraga luar ruang ini adalah aktivitas yang menjawab kejenuhan setelah sekian lama mesti berada dalam rumah akibat pandemi Covid-19. Bersepeda di satu sisi jadi ajang reakreasi bersama keluarga atau kawan terdekat. Di sisi lain juga aktivitas yang terkesan berkaitan dengan menjaga kebugaran.
“Meski akhir-akhir ini, terasa juga bersepeda itu jadi ajang panjat sosial di media sosial. Sulit jadinya membedakan bersepeda sebagai kebugaran atau citra diri akhir-akhir ini,” kata Dany.
Di aplikasi berbagi pesan foto dan video semisal, tak sulit menemukan foto seseorang yang berpose bersama sepeda di suatu tempat. Tak sulit pula, mendapati potongan video yang memperlihatkan aktivitas mengayuh sepeda baik kelompok maupun perseorangan. Bahkan, bersepeda juga seakan jadi kegemaran massal tokoh-tokoh publik baik selebriti, pejabat pemerintah maupun tokoh politik.
“Saya ada teman, yang sulit dapat izin keluar rumah oleh orang tuanya karena pandemi ini. Tapi kalau bersepeda, dia diizinin. Jadi bersepeda menolong dia bisa nongkrong bersama teman-temannya,” kata Dany sembari tertawa.
Sosiologi Bersepeda
Hariyadi, Dosen Sosiologi Unsoed berpandangan kegemaran bersepeda di masa kenormalan baru Covid-19 ini merupakan fenomena budaya pop atau budaya massa dalam masyarakat komoditas Indonesia. Selera massal bersepeda ini sampai ke masyarakat terkait dengan pesan yang ditumbuhkan di masa pandemi yakni nasihat-nasihat untuk berolahraga dan menjaga kebugaran.
Bersepeda dan sepeda yang merupakan bagian barang-barang yang diproduksi dalam jumlah besar jadi jawaban sebagai olahraga luar ruang. Ia menampilkan citra menjaga kebugaran di masa pandemi Korona. Di baliknya, tentu ada ongkos sosial yang mesti dikeluarkan untuk bersepeda.
“Bersepeda ini geliat budaya pop. Apapun yang jadi trend di budaya pop ini mudah ditiru atau diduplikasi, lantas jadi penyeragaman selera dan cita rasa. Bersepeda lantas jadi bagian gaya hidup,” kata Hariyadi.
Budaya pop bersepeda ini, tidak mungkin ada tanpa keterlibatan teknologi. Di satu sisi, teknologi memungkinkan sepeda dan segala jenis suku cadangnya dibuat dalam jumlah besar. Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi memasifkan informasi bersepeda disebar luaskan.
“Sayangnya jika kita lihat di Banyumas ini, gairah budaya pop belum ditopang sarana prasarana yang mendukung. Kita belum mendengar semisal, bersepeda sebagai wacana alternatif transportasi bagi para pekerja dan kampanye menjaga lingkungan,” kata Hariyadi. (AAR)