Beberapa waktu lalu, sebagian orang membayangkan wajah dunia setelah pandemi Covid-19 tidak lagi menghantui umat manusia. Secara global para ahli telah bicara tentang kemungkinan-kemungkinan baru yang didorong oleh krisis pandemi Covid-19. Karena pukulan yang dihasilkan oleh pandemi ini cukup keras terhadap ekonomi dunia, diperkirakan kapitalisme global akan beradaptasi dengan normalitas baru. Meskipun ada yang menyerukan pentingnya solidaritas global, tidak sedikit pula yang menduga wabah ini akan memperkuat sentimen nasionalisme negara-bangsa.
Tentu, masih ada berbagai kemungkinan perubahan lain di berbagai sektor kehidupan. Menduga wajah dunia pasca Covid-19 memang penting. Tapi yang tidak kalah penting bagaimana Indonesia setelah wabah ini berlalu?
Pertanyaan yang lebih tepat mungkin: “bagaimana Indonesia setelah memasuki apa yang disebut dengan kenormalan baru?”
Sebelum membicarakan perihal tersebut, penting untuk mencatat apa yang telah dan sedang ditunjukan oleh pandemi ini. Dengan meneroka sejumlah gejala, kita akan lebih pasti tentang apa yang mesti kita perhatikan. Tentu saja akan ada kenormalan baru yang mungkin muncul, misalnya terkait dengan pandangan kita tentang kebersihan atau interaksi yang aman dengan orang lain. Akan tetapi, wabah ini telah dan sedang menunjukan pada kita sejumlah masalah yang relevan untuk kita tinjau bersama.
Dari Kesehatan ke Ekologi
Masalah utama dan pertama yang jelas ditunjukan oleh pandemi Covid-19 adalah fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang secara kuantitas rendah dan tidak tersebar secara merata ke seluruh provinsi di Indonesia. Fasilitas kesehatan yang dimaksud termasuk ketersediaan tempat tidur, Alat Pelindung Diri (APD), ventilator yang jumlahnya tidak memadai dan tidak tersebar secara merata ke seluruh provinsi. Kenyataan ini yang membuat kita tidak cukup siap menghadapi terjangan Covid-19.
Penting untuk kita perhatikan, masalah infrastruktur kesehatan itu kemungkinan besar terkait erat dengan, salah satunya, masalah lain yang menjerat bangsa ini sangat lama, yaitu korupsi. Kaitan antara korupsi dengan penyediaan fasilitas kesehatan itu bisa kita lihat pada kasus korupsi alat kesehatan di Banten dan Tangerang Selatan.
Selain masalah yang berhubungan dengan infrastruktur kesehatan, pandemi Covid-19 juga menunjukan masalah yang selama ini banyak diabaikan oleh para politisi dan pengambil kebijakan. Pandemi ini memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi aktivitas sosial warga dengan menghimbau, warga untuk melakukan aktivitasnya dari rumah; bekerja, sekolah ataupun beribadah tidak lagi bisa dilakukan di tempat biasanya.
Konsekuensi dari minimnya mobilitas warga sejak diterapkannya kebijakan itu, misalnya, adalah kualitas udara di Jakarta kian membaik. Sebenarnya sudah jamak dipahami bahwa volume kendaraan bermotor di hari biasa di Jakarta telah lama membuat kota itu mengalami macet yang kronis. Yang mungkin diabaikan oleh pengambil kebijakan adalah banyaknya penggunaan motor dan mobil di Ibu Kota menghasilkan emisi gas buang yang membuat kualitas udara di sana berkualitas buruk.
Bukan hanya kualitas udara di Jakarta yang menjadi lebih bersih akibat berkurangnya secara signifikan kendaraan bermotor di jalanan, tapi juga kualitas udara di wilayah lain di Indonesia, seperti pulau Jawa secara umum, serta Sumatera dan Kalimantan. Meskipun berkurangnya emisi gas buang pada dasarnya dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aktivitas industri, namun kontribusi alat transportasi juga relevan. Hal ini seharusnya mendorong kita untuk memiliki kesadaran ekologis baru yang salah satu ujungnya adalah upaya untuk mengurangi jumlah alat transportasi pribadi dan memperbanyak alat transportasi massal.
Ketidakpekaan pada Krisis
Tentu kita masih bisa mendaftar beberapa masalah lain yang makin terbuka setelah bangsa ini menghadapi pandemi Covid-19. Untuk menyebut salah satu lagi adalah para politisi di eksekutif dan legislatif yang tidak peka-krisis dan tidak tahu prioritas apa yang harus dikerjakan oleh mereka. Salah satu contoh dari ketidakpekaan mereka terhadap situasi krisis adalah upaya mereka untuk mengambil kesempatan; di saat elemen masyarakat sipil sedang bergerak membangun solidaritas menghadapi pandemi Corona, mereka justru melanjutkan pembahasan rancangan undang-undang Cipta Kerja yang sudah banyak dikritik. Bahkan, mereka sudah mengesahkan UU Minerba yang sebelumnya juga mendapat banyak kritik dari masyarakat sipil.
Memang absah saja kita membayangkan apa wajah dunia setelah pandemi Covid-19 berlal. Meski demikian, jika masa pageblug ini berlalu atau saat kita berusaha memasuki kenormalan baru, sementara kita masih tidak kunjung memberi perhatian pada: infrastruktur kesehatan kita yang kuantitas dan kualitasnya timpang secara geografis; korupsi yang makin dalam menghunjam sektor-sektor vital masyarakat; pengembangan transportasi massal yang lambat; sementara sebagian besar politisinya tidak peka pada kebutuhan warga, maka sebenarnya kita belum menuju kenormalan baru yang betul-betul baru. (aar)
Bowo Sugiarto. Dosen Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto