Mencegah Kekeringan dan Banjir Dengan Pendekatan Kemakmuran

Kolom, Lingkungan206 Dilihat
Petani di Desa Kutawuluh Kecamatan Purwonegoro Banjarnegara Jawa Tengah sedang menanam padi di sawahnya, Minggu (8/1). Pola tanam tidak serempak membuat 581 hektare sawah di tempat itu terserang wereng coklat. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Petani di Desa Kutawuluh Kecamatan Purwonegoro Banjarnegara Jawa Tengah sedang menanam padi di sawahnya, Minggu (8/1). Pola tanam tidak serempak membuat 581 hektare sawah di tempat itu terserang wereng coklat. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Pada musim kemarau tahun 2015, nyaris sumur warga di wilayah utara Kota Purwokerto alami perubahan yang cukup signifikan. Dalam satu surat pembaca di harian lokal Purwokerto, seorang warga Kelurahan Sumampir mengeluh karena sumurnya alami kekeringan. Padahal selama musim kemarau di tahun sebelumnya, kondisi demikian tidak pernah terjadi.

Perubahan ekologis disinyalir menjadi penyebab utama perubahan tersebut. Lahan persawahan yang terkonversi menjadi kompleks perumahan, makin tak terkendali. Lihat saja, lahan persawahan di kawasan Utara Purwokerto yang membujur dari barat ke timur. Mulai dari wilayah Bantarsoka, Rejasari, Kober, Bobosan, Kebocoran, Karangsalam Kidul, Beji, Purwosari hingga Sumampir. Kemudian di wilayah Kutasari, Pamijen, Kebumen, Pandak, Pabuwaran, Tambaksari, Karangwangkal dan Grendeng serta beberapa wilayah lainnya.

Padahal, sebelumnya wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah sabuk hijau yang bermafaat untuk kawasan resapan air hujan. Namun, kini telah berubah menjadi komplek perumahan. Jika penyempitan luasan ruang terbuka hijau kian tak terkendali, bisa dipastikan persediaan air baku saat musim kemarau untuk warga kota Purwokerto makin menipis. Pun sebaliknya, pada musim hujan ancaman bencana banjir di wilayah perkotaan Purwokerto jadi makin nyata.

Memang ada regulasi pemerintah untuk menjaga luasan ruang terbuka hijau, di antaranya aturan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, yang menyaratkan minimal luasannya sekitar 30 persen dari luas kawasan perkotaan. Namun pada praktiknya, sulit dilaksanakan. Bahkan ketidakpatuhan tersebut tak hanya dilakukan pembuat regulasi, tetapi juga oleh pemilik lahan.

Kini, banyak ruang terbuka hijau, berupa lahan persawahan dikorbankan untuk pendirian lahan pabrik pun kompleks perumahan. Konon ruang terbuka hijau yang berubah fungsi menjadi komplek perumahan, jauh lebih bermaslahat. Karena dipandang bisa menggairahkan perekonomian setempat. Pun pabrik yang baru berdiri di lahan persawahan, dianggap bisa membuka lapangan pekerjaan.

Tak bisa dipungkiri, pertanyaan pun muncul. Siapa yang mampu mencegah dan melarang pemilik sawah di daerah sabuk hijau untuk menjual sawahnya? Dan bisakah sawah yang berpindah tangan, tetap menjadi sawah? Sedangkan pihak pemerintahan yang berkompeten tak mampu mencegah konversi lahan persawahan.

Sejauh ini, sepertinya belum ada mekanisme yang tepat untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran peraturan dan regulasi yang menyangkut konversi lahan persawahan. Pendek kata, syarat-syarat ideal tersebut belum mencukupi untuk mencegah bencana banjir pada musim hujan dan kekurangan air baku pada musim kemarau di kawasan perkotaan.

Pendekatan Prosperity

Terkonversinya lahan persawahan menjadi pabrik atau kompleks perumahan, bisa disebabkan karena menjadi penanam padi sudah tidak “seksi” lagi, lantaran tak mempunyai asas keekonomian. Biaya pengolahan lahan dan biaya pemeliharaan tanaman, misalnya, sudah tak sesuai lagi dengan hasil penjualan hasil panennya. Malah, tanaman padi tak jarang puso.

Petani sudah mempunyai perhitungan baru untuk memaknai keuntungan menanam padi. Mereka sengaja tidak menanam padi pada musim kemarau karena kelangkaan air. Sedangkan pada musim tanam berikutnya, jika rugi, maka mereka mengharap keuntungan pada musim tanam berikutnya. Hal ini lah yang mendorong terjadinya konversi lahan persawahan menjadi pabrik atau kompleks perumahan.

Maka, pihak pemerintah yang berkompeten kiranya perlu mencari cara agar luasan ruang terbuka hijau, berupa persawahan tetap terjaga. Tidak saja dengan pendekatan peraturan dan regulasi, tetapi juga menggunakan pendekatan kemakmuran dalam menggarap sawah.

Metode tanam padi Hazton kiranya dapat menjadi tawaran untuk menjaga luasan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Metoda tanam ini telah diuji coba di Kabupaten-Kabupaten Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten-Kabupaten Provinsi Sumatera Utara pada lahan persawah ribuan hektar.

Untuk wilayah Jawa Tengah, ada beberapa kabupaten yang pernah mencoba metode tanam padi Hazton, seperti Kabupaten Banyumas dan Cilacap. Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Purwokerto, sebagai motor pengembangan metode tanam padi Hazton, mengajak kelompok tani yang terdiri dari 50 orang buruh tani dan pemerintah desa berkerja sama menggarap lahan seluas 10 hektare. Setiap lima atau 10 buruh tani menggarap lahan seluas satu hektar.

Perjanjian antara KPw BI Purwokerto dan pemerintah desa menghasilkan kesepakatan yang mensyaratkan 50 persen hasil panen untuk buruh tani, sedangkan 50 persen sisanya, dikelola kelompok tani dan pemerintah desa. Dengan rincian peruntukannya; 30 persen untuk modal tanam kembali, 10 persen penguatan kelompok dan cadangan pangan, 10 persen sisanya untuk petugas yang membantu program, seperti ulu-ulu (pembagi air), perangkat desa, pengawas dan pendamping.

Hasil metode tanam Hazton ini pun ternyata dirasakn petani. Pada 27 Agustus 2015, buruh tani di Desa Pegalongan Patikraja, merayakan keberhasilan panen tanaman padi metoda Hazton. Keramaian sebagai bentuk ekspresi kegembiraan disalurkan kaum tani ini, di antaranya dengan gelaran pertunjukkan Lengger Calung dan Ebeg.

Fenomena keberhasilan metode tanam Hazton ini sangat menarik. Lantaran, jarang sekali pada musim tanam kedua, di tengah musim kemarau dan ancaman serangan hama tikus yang hebat, masih bisa memanen rata-rata hingga 7,1 ton gabah kering per hektar. Jika dibandingkan pada tahun lalu, petani hanya menghasilkan 1,5 ton saja per hektar dengan kondisi dan lahan yang sama.

Pun, jarang terjadi sebuah model pengentasan kemiskinan berhasil dilakukan lembaga pemerintah, dengan model yang diterapkan kepada buruh tani, seperti di desa Pegalongan dan Desa Tambaksari. Model pemberdayaan nyata dan konkrit ini pun minim resiko lapangan, karena hanya berlangsung empat bulan. Dengan gelontoran uang Rp 165 juta di Desa Pegalongan, hanya dalam waktu empat bulan menjadi Rp 284 juta atau sama dengan 71 ton gabah kering riil. Hingga saat ini, dana tersebut masih bergulir untuk tiga musim tanam berikutnya.

Harapan

Sebagai perbandingan, pencapaian maksimal rata-rata panen padi petani Kabupaten Banyumas dengan metode tanam konvensional di musim hujan hanya 4,6 ton gabah kering per hektar. Pencapaian panen 7,1 ton gabah kering per hektar pada musim kemarau, dengan metode tanam Hazton, merupakan pencapaian yang jarang terjadi pada luasan yang sama.

Alangkah baiknya, jika program pengentasan kemiskinan buruh tani dengan model Hazton di Desa Pegalongan, yang dikemas dalam proyek pengentasan kemiskinan program sosial Bank Indonesia, bisa diimplementasikan pada lahan persawahan di wilayah sabuk hijau kawasan utara kota Purwokerto.

Mengingat, hasil panen pada musim hujan bisa mencapai 12 ton gabah kering per hektar, maka para petani penggarap sawah dan pemilik lahan menjadi makmur. Maka, metode tanam ini bisa menjaga luasan sawah sebagai ruang terbuka hijau yang sangat fungsional. Fungsi sawah menjadi multifungsi, secara keekonomian, ekologis, sosial (sebagai sarana stratifikasi buruh tani) dan budaya.

Lewat pendekatan kemakmuran, para buruh tani, petani penggarap lahan dan petani pemilik lahan cenderung akan mempertahankan budaya agrarisnya. Mereka cenderung tidak menjual sawahnya. Jika dijual, maka pemilik sawah yang baru diharapkan bisa mempertahankan sebagai sawah. Tidak menjadikannya sebagai komplek perumahan atau pabrik. Bayang-bayang kekeringan, ancaman banjir di perkotaan kala musim hujan pun semakin berkurang. **

FB_IMG_1447060440150

 

 

 

 

Hari Widiyanto
Warga Purwokerto

Tinggalkan Balasan