Film “Mencari Soetedja”, Pencarian Soetedja yang Tak Pernah Selesai

Ragam201 Dilihat
Poster film “Mencari Soetedja”. (AAR/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Hari ini, Kamis (15/11), Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga bekerjasama dengan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) memutar film “Mencari Soetedja” di Bioskop Rajawali, Purwokerto. Namun, pemutaran film ini bukanlah akhir, minimnya dokumentasi karya dan literatur tentang Soetedja menjadikan pencariannya tak pernah selesai.

Raden Soetedja Poerwadibrata adalah seorang komponis yang mendedikasikan hidupnya untuk bermusik. Jejak langkahnya di seni musik tercatat bersama Orkes Melati yang kerap tampil di RRI Jakarta. Ia juga bermain bersama Wisma Nusantara yang kerap bermain di Istana Negara pada era Presiden Soekarno.

Sedang di Purwokerto, Soetedja pernah menjabat sebagai Direktur Musik RRI Purwokerto pada tahun 1946. Di stasiun kereta api Puwokerto, lagu “Di Tepinya Sungai Serayu” karya Soetedja (1909-1960) punya eksistensi sendiri menjadi kekhasan penanda kereta tiba.

Sutradara film “Mencari Soetedja”, Bowo Leksono, menilai Soetedja adalah tokoh pembaharu musik kontemporer Indonesia yang tak banyak tercatat. Hal ini yang memantik Bowo mengunjungi berbagai tempat, mulai dari bekas kediaman Soetedja di Purwokerto dan Banjarnegara. Menelusuri kenangan-kenangan tentang Soetedja dengan mengunjungi kediaman anak-anaknya di Jakarta.

Bowo juga mengkliping arsip-arsip penuh debu dan menelusuri piringan hitam yang bertautan dengan jejak karya sang komponis. Bowo mengungkapkan, tidak banyak yang dia dapat. Padahal, di Kabupaten Banyumas, nama besar Soetedja diabadikan menjadi nama Taman Budaya.

“Pencarian Soetedja nyatanya tak pernah selesai. Begitu minim dokumentasinya,” kata Bowo usai pemutaran perdana film “Mencari Soetedja”.

Soetedja sempat mengenyam pendidikan musik di konservatori musik Roma, Italia. Buah kretivitasnya ia mencipta ratusan lagu di antaranya “Tidurlah Intan”, “Selamat Berjuang”, “Keroncong Senja”.

Keterangan-keterangan ini digapai oleh Bowo dengan mengabadikan kenangan putra-putri Soetedja, salah satunya Budhy Rahardjo dan Lily Soemandari.

Bowo juga menyusuri masa kanak Soetedja yang bermimpi menjadi musisi dengan menggali keterangan dari Sugeng Wijono, keponakan Soetedja. Sedang penelusuran dokumentasi karya kerap mengalami jalan buntu.

Menurut Bowo, data-data piringan hitam dan partitur-partitur karya Soetedja yang tersimpan di RRI Jakarta dikabarkan terbakar. pihaknya juga mengunjungi irama Nusantara ke Bandung yang kerap melakukan pengarsipan piringan hitam ke digital.

“Tapi hanya beberapa yang kita dapat, salah satunya album “Mengenangkan Soetedja”, kompilasi lagu yang diciptakan Soetedja dan dihimpun kembali oleh Jack Lesmana,” kata Bowo.

Bowo juga bercerita, pihaknya membutuhkan waktu 8 tahun menunggu penggarapan film ini. Sampai kemudian Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dam Kebudayaan membuka fasilitasi produksi film dokumenter pendek.

Terbatasnya literatur tentang Soetedja, juga menjadi tantangan tersendiri bagi periset film “Mencari Soetedja”, Nugroho Pandhu Sukmono. Menurut dia, pencarian hayat dan karya Soetedja belum bisa dikatakan selesai. Ia berharap, dari film dokumenter berdurasi 24 menit ini, dapat memantik penelitian untuk memperoleh gambaran lebih detail tentang bagaimana jejak langkah Soetedja dalam kancah seni musik di Indonesia.

“Meninggal di usia relatif muda dan lemahnya dokumentasi karya, membuat lagu-lagu Soetedja kurang dikenal pada masa sekarang,” ujarnya.

Sementara itu, putri keempat Soetedja,  Lily Soemandari mengungkapkan, ayahnya telah menciptakan lebih dari 180 lagu. Di akhir hidupnya, ayahnya berniat mengumpulkan karya-karya lagu yang pernah ia ciptakan untuk ditandai namanya. Sayang, niat tersebut tak sempat tergapai, sebab Soetedja keburu meninggal di usia 50 tahun.

“Saya menangis sebelum menonton film tentang ayah saya ini. Saya sendiri masih usia 12 tahun saat ayah meninggal. Tidak banyak kenangan, hanya yang saya ingat, ayah punya hubungan dekat dengan sejumlah musisi saat itu seperti Bing Slamet,” katanya dalam diskusi peluncuran film “Mencari Soetedja”.

Baca : Jejak Soetedja, di Balik Lagu “Kopral Jono” dan “Juwita Malam”

Keponakan Soetedja, Sugeng Wijono mengatakan, Kenang-kenangan Soetedja yang masih tersimpan oleh keluarga adalah sejumlah partitur lagu dan biola hadiah saat ia berusia 10 tahun. Biola tersebut yakni Stradivarius Paganini buatan tahun 1834. Dawai biola tersebut sudah tidak lengkap.

“Biola itu saksi terciptanya lagu Di Tepinya Sungai Serayu yang legendaris. Lagu itu lahir ketika Soetedja diajak oleh ayah angkatnya mengunjungi tanah keluarga di wilayah Serayu,” kata Sugeng Wijono. (AAR/YS)

Tinggalkan Balasan