Purwokertokita.com – Riuh suara ratusan pengunjung menggema di Lapangan Desa Kemranggon, Kecamatan Susukan, Banjarngera, ketika Suwito, pria asal Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, memulai pertandingan dengan lawannya dalam ritual Ujungan pada rangkaian Festival Ujungan, Jumat (28/9).
Kaki Suwito terus menari untuk mengecoh konsentrasi lawan. Bilah rotan membentur kulit tulang dua jagoan yang saling serang. Wajah keduanya memerah, tanda pertarungan yang makin seru.
Di sela laga, keduanya diwajibkan tukar senjata. Sebab, siapa tahu ada pemain yang sengaja menyelipkan rajjah di senjata tersebut. Sehingga kekuatan menjadi tak berimbang.
Panitia Festival Ujungan Kecamatan Susukan, Yusmanto mengatakan, bertukar senjata antara pemain pada ritual Ujungan bertujuan agar pertandingan berlangsung adil, karena senjata yang digunakan sama.
“Sejak jaman dahulu pun, pertandingan sudah mengedepankan unsur fair play,” ujar Yusmanto.
Sesepuh adat setempat atau Bedogol, Arjo Suwarno (73) menyebut tradisi itu dengan istilah Ujungan. Ujung dalam bahasa Jawa berarti pucuk. Maksudnya adalah ujung rotan yang digunakan melumpuhkan lawan.
“Ujungan ini bukan sekadar adu kekuatan. Setiap tetes darah yang mengalir, atau rasa sakit karena pukulan, tersirat harapan. Lewat kepedihan itu, mereka berharap belas kasihan dari Yang Maha Kuasa untuk menurunkan hujan ke bumi,” katanya.
Menurut dia, tradisi tersebut tidak digelar setiap tahun. Ujungan digelar apabila kemarau panjang, atau sampai Mangsa Kapat, hingga puncaknya Mangsa Kelima tidak juga turun hujan.
“Kalau sekarang tidak turun hujan, Ujungan digelar lagi,” tambahnya.
Seusai pertandingan, kaki Suwito terlihat memerah bekas gebukan rotan lawannya. Namun Suwito tidak merasakan sakit, dia justru tetap bersemangat saat menonton pertandingan lainnya.
“Tidak sakit, sudah biasa. Ya tetap ada laku ritualnya seperti puasa dan tidak mengonsumsi alkohol,” ujarnya.
Camat Susukan, Susanto mengatakan, Festival Ujungan digelar oleh Dewan Kesenian Kecamatan Susukan (DKKS) serta aparat pemerintah dan tokoh masyarakat di wilayah Kecamatan Susukan pada 21-30 September 2018. Ajang ini menyuguhkan tradisi Ujungan sebagai atraksi utama.
Pada Rabu (26/9) lalu, ada juga kegiatan pengambilan air suci dari Mata Air Panas “Banyu Anget” Pingit, Desa Gumelem Wetan. Ritual pengambilan air suci dihadiri oleh 17 tamu dari berbagai negara Eropa, Amerika, Amerika Latin dan Asia.
Secara berurutan juga digelar ritual tradisional takiran Suran, Cowongan, festival musik Tundhan Belis, musik dari Grup Nayeche Mexico pimpinan Leon Gilberto Medelin Lopez yang berkolaborasi dengan penari lengger dari Jepang, Jurry Suzuki dan Sanggar Seni Sekar Shanty.
Selain itu tampil pula Sendratari Ujungan dari Kemranggon, musik dan tari tradisi dari SMP Negeri 1 Susukan, Tari Dadi Ronggeng dari Sanggar Seni Sekar Shanty dan Barongsay dari Purbalingga. (NS/YS)