
Purwokertokita.com – Sedikitnya 700 warga masyarakat Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, melakukan prosesi pengambilan air Tuk (mata air ) Sikopyah, Jumat (28/9). Pengambilan air yang menjadi salah satu rangkaian Festival Gunung Slamet (FGS) IV itu merupakan tradisi untuk merawat keberadaan air di kawasan tersebut.
Kepala Desa Serang, Sugito mengatakan prosesi pengambilan air ini rutin dilalukan setiap tahunnya. Sebab, Tuk Sikpoyah sangat bermanfaat kepada masyarakat Desa Serang.
“Selain untuk air minum air sikopyah juga untuk mengairi sawah dan ladang warga desa Serang. Setelah prosesi pengambilan air Sikpoyah akan dilakukan ruatan, yang kemudian airnya akan di bagikan ke warga desa,” ujarnya.
Dia menuturkan, pengambilan air ini dimulai dari doa oleh sesepuh desa Serang di mata air (tuk) sikopyah yang di bawa oleh 48 orang dengan lodong (bambu untuk membawa air). Setelah diambil air dalam lodong tersebut dibawa ke Rest Area Lembah Asri dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 kilometer.
Iring-iringan dimulai dengan pasukan pembawa tombak pusaka dan tumpeng serta ingkung ayam. Mereka berjalan diiringi musik rembana dan sholawatan.
“Tujuan dari prosesi tersebut agar masyarakat desa selalu menjaga kelestarian lingkungannya, dan menjaga kesuburan tanahnya. Dengan adanya juga diharapkan dapat menarik wisatawan dan diharapkan dapat menjadi destinasi di wilayah Purbalingga,” ujarnya.
Tokoh desa setempat, Kyai Samsudin (61) mengatakan, tradisi meruwat mata air Sikopyah sudah dilakukan sejak lama. Sejak dirinya masih kecil, masyarakat sudah melakukan tradisi pengambilan air Tuk Sikopyah.
“Sekarang sudah tiga kali dilakukan dalam skala lebih besar,” katanya.
Menurut dia, sumber Tuk Sikopyah merupakan peninggalan dari tokoh penyebar agama Islam di wilayah itu, Mbah Haji Mustofa yang memiliki padepokan di salah satu pedukuhan Gunung Malang, Serang. Saat Haji Mustofa bertapa atau semedi di tempat itu, ia sempat berwudhu. Selesai wudhu, kopiah (peci) itu sempat tertinggal.
“Namun ketika H Mustofa kembali lagi untuk mengambilnya, kopiah tersebut sudah tidak ada. Dari situlah, menurut cerita, sumber air yang ada kemudian diberi nama sumber Sikopyah,” jelasnya.
Setiap kali ritual pengambilan air ini, kata dia, menyiratkan pesan melestarikan lingkungan. Pesan itu sudah ada secara turun temurun, dan dipercaya oleh masyarakat disini. (NS)