Purwokertokita.com – Ia menghitung tumpukan bungkus plastik berisi kraca, sejenis siput air, di dalam keranjang. 16 bungkus kraca tersisa yang berarti 84 bungkus laku terjual. Saat itu pukul 21.00 di Dukuh Waluh, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas. Suasana jalanan di perumahan Tegal Sari Indah lengang. Samar-samar terdengar lantunan pembacaan Al-Quran di kejauhan.
Nunung Lestari (47), tampak letih duduk di pelataran toko dan menyandarkan kepalanya ke tembok. Setiap hari, ia berpeluh keringat berjalan kaki sejauh 5-6 kilometer. Kediamannya di Mersi, Kecamatan Purwokerto Timur sedang lokasi ia berkeliling menjual kraca di daerah Ledug atau Dukuhwaluh.
“Kalau hari biasa, keliling siang sampai sore. Kalau puasa, sore sampai malam,” kata Nunung, Sabtu (26/5).
Delapan tahun sudah, Nunung berjualan kraca. Sebelumnya, ia sempat bekerja jadi pelayan toko. Kenangan masa silam itu masih terpatri di ingatannya, toko majikannya terpaksa tutup karena pailit. Ia pun kehilangan mata pencaharian di situasi sulit, ketika harga sejumlah kebutuhan pokok tengah naik.
Dengan tabungan seadanya, ia berpikir mesti memutar uang untuk menjamin kepastian biaya hidup sehari-hari. Di satu sisi, ia ingin membantu meringankan beban suaminya yang bekerja serabutan dengan pendapatan tak tentu. Di sisi lain, jumlah anggota keluarganya tergolong besar, ada 3 orang anak jadi tanggungannya.
Anak saya tujuh. Empat sudah berkeluarga dan memiliki pekerjaan sendiri. Saya gak mau menyusahkan jadi tambah beban, mereka sudah ada tanggungan masing-masing, kata Nunung.
Di tahun 2010 ketika itu, secercah harapan muncul saat ia mendengar siaran di radio. Dikabarkan pemerintah Kabupaten Banyumas meminta agar warga tak membuang kraca atau semata memanfaatkan untuk pakan bebek. Sebaiknya, kraca diolah sebagai masakan. Seakan jadi petunjuk guratan nasib, Nunung pun memutuskan berjualan kraca.
“Saya lalu mencoba mengolah kraca. Saya berpikir ini mungkin jalannya agar saya berdagang”, ujarnya.
Nunung lalu mulai mengemas kraca olahannya bermula dari 50 sampai 100 bungkus plastik. Ia mematok harga Rp 2000 perbungkus. Apabila sedang mujur, ia dapat membawa pulang uang Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu.
Penghasilan berjualan kraca bagi Nunung, setidaknya jadi asa anak-anaknya tak akan mengalami nasib putus sekolah. Rasa haru sebaliknya juga bahagia, saban kali menggelayuti benaknya saling tumpang tindih. Di satu sisi, rasa iba tak tertanggungkan, anaknya ikut terjun berpeluh keringat berkeliling menjual kraca. Sisi lain, kenyataan baik kini menghampiri, salah satu anaknya tengah mendaftar kuliah di salah satu universitas negeri di Purwokerto.
“Hasil berapapun, cukup ngga cukup, ya harus cukup. Bersyukur,” tuturnya.
Berat Sama Dipikul
Sejak berjualan kraca, keluarga Nunung menjaga ikatan dalam satu prinsip bahwa berat harus sama dipikul. Di malam hari, suami Nunung, Slamet Priyono (49) menyusuri petak-petak sawah di kawasan Purwokerto Timur berburu kraca. Sedang, pagi hari, dua anak perempuan Nunung, Putri dan Indri membantu mengolah kraca yang didapat oleh ayahnya.
Di dapur seluas 2×2,5 meter, panci ukuran besar dan kecil telah dipersiapkan sejak subuh hari. Aktivitas yang lantas nampak, tangan-tangan cekatan meracik bumbu seperti sereh/kamijara, jahe, laos, cabe rawit, kunyit, bawang putih, bawang merah, gula dan garam. Tak berselang lama, kepulan asap dari rebusan air mendidih jadi tanda proses pengolahan kraca dimulai.
“Dulu, ayah bisa dapat 20 kilo kraca. Itu bisa dua kali rebus pakai panci ukuran besar. Sekarang engga ada setengahnya. Tadi malam cuma tiga kilo. Dimasukkan ke panci ukuran lebih kecil saja tidak penuh,” ucap Putri, sambil membuka tutup panci berisi keong yang tengah direbus, Minggu (27/5).
Nunung menimpali, jika cuaca sering hujan, kraca umumnya mudah didapat. Sebaliknya saat kemarau, kraca susah dicari. Tahun 2017 lalu misalnya, Nunung dan suaminya mesti membeli sebanyak 50 kilogram kraca mentah karena kemarau.
“Kami beli kraca di daerah Beji. Di sana terkenal bagus-bagus kracanya”, ujarnya.
Baru menjelang zuhur, kraca yang diolah dengan beberapa tahap perebusan telah matang. Nunung, Indri dan Putri pun mulai bahu membahu memasukan setiap kraca ke dalam bungkus plastik kecil. Pukul 15.00, ketiganya punya rutinitas berkeliling menjajakan dagangannya.
Putri Oktavianingsih, kelas tiga SMP, biasa berjualan di daerah Ledug dan Dukuhwaluh berbagi tugas dengan ibunya. Indriani, kakaknya yang tengah mendaftar menjadi mahasiswi, biasa menjual dagangannya di daerah kampus Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dan Arcawinangun.
“Kami senang bantu ibu,” kata Putri yang dibalas senyum oleh Nunung.
Seiring matahari yang makin tenggelam di ufuk barat, masing-masing anggota keluarga tersebut berpisah menjajakan kraca. Meski berjauhan, hati mereka saling berjabat erat dan mesra menjaga asa keberlangsungan kehidupan keluarga. Dari kisah keluarga inilah, aroma cinta mereka menguar dan tercium dalam olahan kraca menjadi bagian menu berbuka puasa bagi keluarga-keluarga lain di Banyumas. (Decky/AAR)