Punggawa CLC Purbalingga berpose di proyektor seluloid 16 milimeter di Hangout Bistro Purbalingga, Rabu (26/4). (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Purwokertokita.com – Banyumas Raya boleh berbangga memiliki festival film pendek yang pada tahun 2016 ini, memasuki penyelenggaraan kesepuluh. Festival Film Purbalingga (FFP) yang dibidani Cinema Lovers Community (CLC) kini menjadi salah satu barometer perkembangan film pendek dalam skala nasional.
Tak heran dalam satu dekade ini, ratusan film pendek dihasilkan dari wilayah Eks Karesidenan Banyumas yang mengandalkan pelajar sebagai ujung tombak utama.
Bicara tentang penyelenggaraan FFP tahun ini, Direktur CLC Purbalingga Bowo Leksono mengakui sedang mempersiapkan persembahan khusus untuk warga Banyumas Raya.
“Tahun ini, kami akan memutar film Saur Sepuh IV: Titisan Darah Biru karya sutradara Imam Tantowi dengan menggunakan proyektor seluloid 16 milimeter dalam program layar tanjleb,” katanya di Hangout Bistro Purbalingga, Rabu (27/4).
Film Saur Sepuh akan diputar keliling 18 desa di Eks Karesidenan Banyumas, mulai dari Purbalingga hingga Cilacap. Pria asal Bobotsari ini mengaku pilihan memutar film Saur Sepuh dengan format seluloid 16 milimeter dilakukan untuk mengenalkan kepada generasi sekarang tentang teknologi film.
“Format ini disengaja agar generasi sekarang yang tidak merasakan zaman keemasan layar tancap bisa mengerti teknologi yang digunakan dalam film zaman dulu sudah canggih. Ini juga menjadi edukasi bagi mereka, sekaligus klangenan bagi penggemar layar tancap di masa lalu,” ucapnya.
Film berdurasi 89 menit tersebut, kata Bowo akan disandingkan dengan dua film pilihan lain yang akan diputar di kawasan pedesaan, yakni “Tani Maju-Berdikari” dan “Neng Kene Aku Ngenteni Kowe”.
“Dua film pendek itu, kami pilih berdasarkan beberapa hal yang istimewa dalam proses pembuatannya atau tema yang diangkat,” jelasnya.
Bowo menjelaskan untuk film pendek “Neng Kene Aku Ngenteni Kowe”, lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro ini mengatakan film tersebut memiliki keistimewaan tersendiri. Film pendek tersebut, menurut Bowo cukup menarik, karena diproduksi anak muda Yogyakarta yang pendanaannya dari pemerintah daerah.
“Ini menunjukkan dukungan yang luar biasa pemerintah setempat untuk membangun kreativitas anak mudanya melalui film pendek,” jelasnya.
Pemerintah Daerah
Ia melanjutkan, kondisi ini belum didapat dari pemerintah di Eks Karesidenan Banyumas. Meski begitu, ia mengakui pada pembukaan FFP dalam program layar tanjleb di Desa Majapura Kecamatan Bobotsari, Purbalingga pada Sabtu (30/4) rencananya akan dibuka oleh Bupati Purbalingga Tasdi.
“Kalau yang buka adalah Bupati Purbalingga, tentunya akan berbeda nantinya. Sebab kebiasaan kami, biasanya FFP selalu dibuka oleh kepala desa setempat atau ketua RT yang tentunya jauh lebih gayeng,” ujarnya.
Lebih jauh, Bowo mengakui pada penyelenggaraan yang ke-10 menjadi momentum penentuan keberlanjutan festival film pendek yang pernah mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015 silam ini.
“Ini menjadi penentuan, apakah pemerintah akan mendukung program yang sudah berjalan dari luar pemerintahan atau tidak. Karena sejatinya, FFP bisa berjalan hingga hari ini, karena gotong royong dengan masyarakat,” ucapnya.
Diakui Bowo, pihak penyelenggara selama ini merasa terbantu dengan melibatkan masyarakat dalam program layar tanjleb yang diajukan dari masyarakat sendiri.
“Kami hanya membantu tak banyak, tetapi sebenarnya program ini lahir karena masyarakat senang dan bahkan mereka mendanainya sendiri, kami hanya mendukung untuk sarana pemutaran film saja,” jelasnya.
Sementara itu, Manajer FFP Nanki Nirmanto mengemukakan, saat ini terkumpul 32 film pelajar yang terdiri dari 18 film fiksi, 11 film dokumenter dan 3 film karya pelajar SMP. “Semuanya masuk dalam film kompetisi pelajar yang akan diputar pada puncak FFP tahun ini,” jelasnya.
Diakuinya, tema film yang dibuat untuk kompetisi pelajar kali ini cukup variatif. Selain itu, kualitas film sudah mulai membaik. “Tetapi yang lebih penting dalam program kompetisi film pelajar ini adalah semangat mereka dalam membuat karya yang bisa dinikmati masyarakat secara luas,” tuturnya.