Mengenang Darto Helm, Pelawak Asal Banyumas

Rehat518 Dilihat
Darto Helm (kiri) dalam salah satu sesi foto. Darto Helm merupakan pelawak asli Banyumas yang melegenda dan pernah berjaya tahun 1980-an. (Foto: Satelitpost)
Darto Helm (kiri) dalam salah satu sesi foto. Darto Helm merupakan pelawak asli Banyumas yang melegenda dan pernah berjaya tahun 1980-an. (Foto: Satelitpost)

Purwokertokita.com – Kalau kamu sudah tua, pasti mengenal pelawak paling hits tahun 1970-1980-an yang dilahirkan di Purwokerto. Lawakannya cerdas tapi tetap menghibur. Berbeda dengan lawakan zaman sekarang yang mengumbar kemesuman dan kecabulan. Darto Helm adalah kebanggan Banyumas, kebanggan kita semua.

Tulisan berikut ini merupakan kiriman dari Ade Yulia. Ia berbincang-bincang dengan salah satu saudara Darto Helm beberapa waktu lalu. Kisahnya inspiratif dan bisa menjadi contoh calon pelawak atau yang berminat untuk menjadi komika.

Darto Helm mulai mengenal dunia lawak sejak tahun 1973. Nama aslinya sebenarnya Sudarto. Lahir tahun 1943 di Purwokerto.

Bakatnya diperoleh secara turun-temurun. Keluarga besarnya merupakan seniman. Ayahnya, S Minoto Harjo dan sepuluh bersaudara keluarga itu termasuk Darto Helm merupakan seniman. Tak hanya seni teater, mereka juga jago seni tari. “Selepas SMA, Mas Darto bergabung dengan grup wayang orang milik ayahnya yang bernama Sri Surya,” kata Widyono, adik kandung Darto Helm.

Ia mengatakan, Darto merupakan anak nomor dua dari sepuluh bersaudara. Widyono sendiri merupakan anak bontot. Dulu Sri Surya adalah ketoprak keliling di daerah Jawa Tengah, khusus bagian Selatan dan Barat.

Dalam ketoprak, Darto selalu berperan sebagai Bagong dan jarang mendapat peran serius. Tak hanya berkiprah dalam seni ketoprak, Darto muda pun menjadi seorang penyanyi pada grup band bernama Bumulung. Sayang, ketoprak mulai surut semenjak kedatangan film-film layar lebar yang tak lagi hitam putih. Hingga akhirnya, tahun 1971, Sri Surya pun bangkrut.

“Tahun 72, Mas Darto pun mencari peruntungan di Jakarta. Awalnya dia ingin menjadi penyanyi bukan pelawak,” kata Widyono. Namun nasib berkata lain, sesampainya di Jakarta, Darto justru kembali menekuni seni ketoprak dalam grup Adiluhung.

Hingga kemudian, ia tergabung dalam drama komedi televisi bertajuk Kwartet ANDA Singkatan dari Atmonadi, Nety Herawati, Darto, dan Asfal Fuad. “Pada era itu, ada grup komedi bernama Kwartet Jaya. Di dalamnya ada Bing Slamet yang menggabungkam nyanyian dengan komedi. Dan mas Darto terinspirasi grup itu,” ujarnya.

Latar belakang Darto yang juga gandrung akan seni tarik suara membuatnya ingin membentuk grup yang serupa. Gayung pun bersambut, Bagyo yang juga berasal dari Banyumas meminta Darto bergabung dalam grup komedinya bertitel Bagyo cs.

Dalam sebuah pentas komedinya, Bagyo cs pernah mengangkat tema Helm yang saat itu kontroversial. Pada masa itu, Kapolri mewajibkan semua pengendara memakai helm untuk pertama kalinya. “Hingga di suatu adegan, Bagyo menegur Darto yang tak sopan karena memakai helm ketika masuk kerumah. Padahal Darto tak memakai helm. Bagyo pun kemudian sadar Darto tak memakainya, ketika memegang kepala Darto,” katanya. Mulai semenjak itulah Darto dikenal sebagai Darto Helm.

Bagyo cs pun semakin melejit, setelah meredupnya Kwartet Jaya karena sepeninggal Bing Slamet. Hingga mereka pun beradu akting dalam film yang pertama kali dibintangi Darto, berjudul Buah Bibir. Bahkan pada tahun 1978, Darto menjadi pemain utama bertitel Tuyul yang syuting di Australia.

“Tak hanya itu, Bagyo cs satu-satunya grup yang tidak mengeksploitasi fisik pemainnya untuk menjadi lawakan,” kata Widyono. Menurutnya, totalitas lawak tak harus dari eksploitasi fisik, namun memang gaya dan seni lawaknya yang berkualitas. Seiring melejitnya Bagyo cs, mulai bermunculan juga grup komedi serupa.

Namun sayang, mulai tahun 1993 grup ini meredup, sepeninggal Bagyo. “Bagyo kan motornya grup. Begitu ia meninggal, mulai redup,” ujarnya. Tak lama kemudian, Bagyo membuat Trio Aba alias Amanat Bagyo, namun tak bisa bertahan lama. Hingga kemudian Bagyo kembali terjun ke dunia musik pada tahun 1994. Ia kembali menjadi penyanyi dalam band bernama Bumulung.

Namun dua tahun berselang, ketika Darto sedang menonton televisi, tangannya tak bisa digerakkan dan mati rasa. Hingga ketika dibawa ke rumah sakit, Darto divonis stroke. “Sakitnya itu sempat mempengaruhi Mas Darto, tapi mau gimana lagi kondisi tak memungkinkan untuk naik pentas,” katanya.

Hingga delapan tahun kemudian, Darto menutup usia pada Agustus 2004. Namun kenangan perjalanan hidup Darto untuk berkomitmen terjun di dunia seni, takkan terlupakan. Kenangan sekaligus kebanggaan bagi keluarga, khususnya Widyono. Baginya ini sudah saatnya, munculnya pelawak-pelawak baru dari Banyumas, yang memiliki totalitas yang serupa dengan pelawak legendaris yang banyak dimiliki Banyumas lalu.

“Sebenarnya bisa melalui stand up comedy yang sekarang marak di Purwokerto. Tapi komedi itu tak perlu vulgar, tapi harus cerdas,” ujarnya.

Kini meski Darto telah tiada, tak sepatutnya kejayaan sejarah dunia komedi Banyumas pun turut termakan zaman. Namun bagi Widyono, meski orang lain boleh lupa, namun kisah Darto telah mengisi sepenggal sudut hatinya. “Yang paling berkesan saat Mas Darto membelikan saya gitar untuk pertama kali, tahun 77 waktu saya masih SMA,” katanya.

Tinggalkan Balasan