Purwokertokita.com – Pada abad ke-18, Prabu Mangkunegaran VII memerintahkan tiga sastrawan untuk berkeliling Jawa. Mereka diperintahkan untuk menulis kehidupan penduduk Jawa saat itu. Tiga sastrawan itu pun singgah di Banyumas dan bertemulah dengan kesenian Lengger Lanang Banyumas. Kisah mereka belakangan tertulis dalam Serat Chentini, kisah tentang Jawa.
Kini, ratusan tahun sejak kejadian itu, Dariah, masih menari lengger. Dariah merupakan penari lengger lanang terakhir yang masih hidup. Ia menjalankan ritual yang komplit untuk bisa menjadi penari lengger.
Totalitasnya membuat Dariah yang nama aslinya adalah Sadam, berperilaku seperti perempuan. Gerakannya luwes dan gemulai. Namun, energi yang dipancarkan dari kerendahan hati seorang penari lengger, masih awet hingga kini.
Dariah merupakan simbol militansi terhadap kesenian rakyat yang saat ini mulai terancam punah. Bagi Dariah, lengger lanang merupakan kesenian adiluhung yang penuh makna filosofis kehidupan manusia.