Purwokertokita.com – Tiga buah seni tradisi membuka Pekan Komunikasi Sosial Nasional (PKSN) ke-51 di Purwokerto. Tim Komsos KWI dan Komsos dari beberapa Keuskupan lain yang diundang diarak menggunakan kentongan dari Jalan Gatot Subroto hingga Jalan Gereja dan berakhir di depan Paschalis Hall Keuskupan Purwokerto, Senin (22/5).
“Ini adalah kegiatan satu pekan yang diharapkan memberi inspirasi bagi masyarakat. Terutama agar kita tidak takut menyuarakan hal-hal yang memberi semangat, hal-hal yang positif, bukan hoax, di tengah masyarakat, di tengah media sosial,” kata Ketua Panitia PKSN 2017, Robertus Sutriyono, di sela acara.
Grup Kentongan Pringgo Laras yang memenangkan lomba kesenian Banyumas dari Desa Beji, Kemranjen, Purwokerto khusus didatangkan untuk acara ini. Selain kentongan, seni Tari Dolalak juga ditampilkan.
Berdasarkan catatan yang ada, tarian ini terinspirasi pesta serdadu Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, ketika para prajurit Belanda beristirahat, mereka pesta dan minum lantas berdansa.
Aktivitas itu ditiru oleh masyarakat lokal dan tercipta gerakan-gerakan sederhana yang diulang-ulang. Dalam perkembangannya, tarian ini dipentaskan pada acara syukuran, sunatan dan hajatan pengantin. Dipentaskan malam hari sampai menjelang pagi.
Sebagai tarian, Dolalak bisa ditarikan secara berkelompok berpasangan, atau penari tunggal. Gerakan yang khas dari Dolalak adalah gerakan “kirig”, yaitu gerakan bahu yang cepat pada saat-saat tertentu. Tidak mudah untuk menguasai gerakkan “kirig” ini.Dalam pertunjukan tarian diiringi oleh musik gamelan dan nyanyian.
Selepas tarian masal berpasangan, misal empat atau lima pasang, kemudian akan ada tarian tunggal yang biasanya diwarnai dengan keadaan kesurupan. Keadaan kesurupan ini membuat penari bertingkah lucu dan menarik perhatian masyarakat.
Seni pertunjukan khas Banyumas, Buncisan juga ditampilkan
Dari penuturan Pembina Kelompok Seni Buncis Margo Utama, Giwan, Buncis adalah kesenian khas Banyumas dan dikabarkan hampir punah. Kelompok seniman Ngudi Utomo ini berasal dari Desa Tanggeran, Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas.
Delapan seniman menjadi penari, pemain musik, sekaligus penyanyinya. Alat musik yang mereka pegang adalah sejenis angklung. Cukup digoyang-goyang sudah membangun nada-nada.
Dalam pertunjukan, biasanya mereka menyanyikan lagu-lagu seperti eling-eling, ricik-ricik, kulu-kulu, blendong kulon, renggong manis, pacul gowang, dan sebagainya. Menurut sejarahnya, kesenian Buncis menggambarkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
“Seni ini muncul di kalangan rakyat jelata. Kemunculannya sesudah perang Diponegoro (1925-1930) yang terkenal itu dan akhirnya Pangeran Diponegoro kalah oleh Belanda. Sementara daerah Yogyakarta dikuasai oleh Belanda, daerah Banyumas masih melakukan perlawanan,” ungkap Giwan.
Rakyat Banyumas tetap setia pada ajaran yang pernah dituturkan oleh sang pemimpin kharimastik tersebut. Ajaran atau tuturan itu diistilahkan sebagai “cis”, sementara “bun” memiliki arti bundelan atau ikatan atau simpul. Jadi rakyat jelata di daerah Banyumas ini tetap mengikuti ajaran Pangeran Diponegoro meskipun pimpinan mereka telah ditawan.
Masih ada beberapa kegiatan selama sepekan ini yang menarik. Pelatihan dan seminar serta lomba-lomba setidaknya melibatkan 1000 orang dari berbagai latar belakang dan lintas agama. Sementara pagelaran budaya pembuka dan penutup serta perayaan Ekaristi pembukaan dan penutupan diperkirakan total melibatkan 3000 orang.