Purwokertokita.com – Menjaga generasi Nusantara sekaligus pendidikan karakter, KH Zuhrul Anam Hisyam mengutip sebuah maqolah. Menurutnya, Nabi Muhammad SAW memiliki dua warisan; ilmu dan hal (perilaku). Pada zamannya, para sahabat menyerap ilmu dengan cara belajar (ta’allum). Ngaji kalau istilah zaman sekarang dengan Nabi Muhammad SAW. Lalu, pada saat bersamaan Sahabat juga menyerap hal atau perilaku Nabi Muhammad SAW.
“Kalau hal diperoleh atau diserap dengan cara suluk, suhbah atau membersamai Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Sahabat tau apa dan bagaimana Nabi bersikap, bergerak dan kegiatan serta kebiasaan-kebiasaan baik lainnya. Istilah zaman sekarang learning by doing,” kata Gus Anam menggambarkan.
Dengan dua warisan tersebut, jadilah para Sahabat pribadi-pribadi berkarakter; memiliki ilmu sekaligus membersamai Nabi sehingga tindak-tanduknya merupakan duplikasi Nabi. Menurut Gus Anam, dua hal tersebut sudah paket. Pengin pinter berilmu ya harus belajar, tidak ada jalan lain. Pengin persis atau mendekati tindak tanduk orang sholeh (baik) yang suhbah atau membersamai.
Dua warisan di atas jika diperhatikan begitu akrab sudah dilakukan di lembaga pendidikan pondok pesantren. Santri, mereka akan fokus belajar (ta’allum) berbagai disiplin ilmu yang sudah ditentukan di pesantren. Masih dilengkapi dengan evaluasi, untuk mengukur sejauh mana ilmu diserap. Begitu juga dengan suhbah atau membersamai sang guru.
“Maka, sudah banyak cerita santri itu biasanya meniru segala gerak gerik kyainya. Cara bicara, cara berdoa, cara menerima tamu, cara berkomunikasi dengan sesama dan sebagainya. Kalau bagi saya, pesantren itu solusi untuk menjaga generasi anak Bangsa dan pendidikan karakter,” imbuh Gus Anam.
Gus Anam juga menyebut ajaran Ki Hajar Dewantoro, tokoh pendidikan Nasional sejatinya terinspirasi maqolah di atas. Yakni, ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Tiga ajaran luhur tersebut, cocok untuk pendidik, baik guru ataupun orang tua. Yakni, ada kalanya menjadi tauladan, turun langsung memberi contoh, serta memberi support ketika ‘di belakang’.
“Kyai-kyai kita, ulama salafus shaleh sudah begitu akrab dengan nilai-nilai Ki Hajar Dewantoro. Mereka memposisikan diri menjadi uswah (contoh), tidak bosan membersamai santri (mendampingi langsung), juga tidak putus mensupport atau mendoakan santri (atau alumni) saat sunyi atau sendiri,” katanya mengumpamakan.
Semoga tips di atas menjadi inspirasi, bagi orang tua, atau generasi muda yang tengah mencari lembaga pendidikan. Mengingat, tidak jarang orang hendak sekolah dibuat bingung. Karena pendidikan itu, tidak hanya untuk bekal dunia, tapi langgeng sampai bekal akhirat. Wallahu a’lam bi as shawab.