Ratusan Pengikut Banakeling Lakukan Ziarah Kubur

Ragam194 Dilihat
Pengikut Trah Banakeling dari beberapa daerah sekitar Banyumas dan Cilacap Jawa Tengah mengangkat ubarampai yang akan dimasak dalam acara slametan di kompleks pemakaman leluhur mereka. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)
Pengikut Trah Banakeling dari beberapa daerah sekitar Banyumas dan Cilacap Jawa Tengah mengangkat ubarampai yang akan dimasak dalam acara slametan di kompleks pemakaman leluhur mereka. (Uwin Chandra/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Jumat terakhir memasuki bulan puasa dalam penanggalan Jawa menjadi hari yang spesial bagi trah atau anak putu Banakeling yang berada di seantero nusantara.

Hari spesial tersebut menjadi waktu bagi mereka untuk menziarahi makam leluhur yang berada di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Banyumas. Diawali dengan berjalan kaki dari tempat tinggal mereka yang berada di sekitar Cilacap dan Banyumas, pengikut Kyai Banakeling melakukan ritual berjalan membawa ubarampai.

“Tahun ini ada sekitar 836 anak putu yang ikut slametan. Meski jumlah ini naik dibanding tahun lalu, kondisinya masih kalah banyak dibanding beberapa tahun silam yang mencapai ribuan,” ujar juru bicara adat Desa Pekuncen, Sumitro, Jumat (3/6).

Jumlah terbanyak trah Banakeling yang datang, terjadi sekitar tahun 2006 usai gempa bumi dan tsunami menerjang pantai selatan di kala itu. “Banyak yang berdoa memanjatkan keselamatan atau bersyukur bisa selamat dari bencana,” ucapnya.

Ritual berjalan kaki yang dilakukan sehari sebelum selamatan dan bersih makam dilakukan trah Banakeling. Jarak dari desa tempat tinggal mereka bervariasi dari yang belasan kilometer hingga puluhan kilometer.

Setelah sampai di Desa Pekuncen, para peziarah akan disambut tuan rumah yang kemudian akan membawa ubarampai yang dibawa. “Ada yang bawa bahan pokok, hewan ternak, ayam dan hasil bumi yang akan dimasak di sini (Desa Pekuncen),” ucapnya.

Suasana balai agung atau pasemuan terlihat ramai saat ratusan peziarah melakukan sungkem kepada tetua. Biasanya para peziarah akan menempati beberapa rumah adat sesuai dengan arahan tuan rumah untuk beristirahat.

Sekitar Jumat dini hari, atau sekitar pukul 03.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB, mereka akan menuju pasemuan untuk mengikuti nedu atau zikir jawa. “Dalam cara Islam mungkin dzikir, tetapi kami biasa menyebut nedu,” ujar Sumitro.

Usai ritual nedu, peziarah akan diwajibkan untuk mempersiapkan slametan. Menurut Sumitro, dalam prosesi slametan semuanya harus dimasak lelaki yang mewakili lima bedogol. “Jadi yang memasak harus lelaki, mulai dari kupas bawang hingga memasak di atas tungku harus lelaki,” ujarnya.

Saat yang bersamaan, kaum perempuan sudah harus bersiap untuk melakukan ritual berdoa di kompleks makam Kyai Banakeling yang diyakini sebagai leluhur mereka. “Kalau cerita tentang siapa Kyai Banakeling, itu tidak bisa kami kisahkan” ujar Sumitro.

Lebih jauh, ia mengemukakan ritual unggah-unggahan sebenarnya merupakan bentuk perayaan atas hasil tanam. Sekaligus juga memasuki masa tanam agar doa pengikut Banakeling untuk kemakmuran tercapai.

“Tetapi biasanya waktu unggah-unggahan ini berdekatan dengan awal puasa, sehingga sampai saat ini kerap diidentikan dengan menyambut bulan puasa,” katanya.

Diakuinya, ritual yang tidak diketahui kali pertama dilaksanakan tersebut, hingga saat ini masih dihormati masyarakat yang bukan pengikut Banakeling. “Hingga kini, masih berjalan normal tanpa adanya gangguan dan permasalahan dengan umat lainnya,” tutur Sumitro.

Tinggalkan Balasan