Seribu Tenong dan 11 Ribu Takir untuk Keselamatan

Lingkungan, Peristiwa291 Dilihat
Sekitar 1000 orang warga Desa Karangjati Kecamatan Susukan Banjarnegara menggelar tradisi tenongan pada setiap Jumat Kliwon tiap bulan Suro, Jumat (23/10). Tenongan merupakan tradisi turun temurun sebagai tanda syukur terhadap Tuhan YME. Di setiap satu tenong terdapat 12 takir atau nasi bungkus dari daun pisang yang akan dibagikan kepada warga lainnya. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Sekitar 1000 orang warga Desa Karangjati Kecamatan Susukan Banjarnegara menggelar tradisi tenongan pada setiap Jumat Kliwon tiap bulan Suro, Jumat (23/10). Tenongan merupakan tradisi turun temurun sebagai tanda syukur terhadap Tuhan YME. Di setiap satu tenong terdapat 12 takir atau nasi bungkus dari daun pisang yang akan dibagikan kepada warga lainnya. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Nasidah, 45 tahun, terpekur khidmat. Mulutnya komat-kamit tak henti memanjatkan doa. Di depannya, tenong miliknya tertata berbaris dengan tenong milik warga Desa Karangjati Kecamatan Susukan Banjarnegara lainnya. “Sudah ratusan tahun kami melakukannya,” kata dia, Jumat (23/10).

Tenong atau semacam bakul dari anyaman bambu diisi oleh Nasidah dengan 12 bungkus takir atau makanan. Makanan lengkap dengan isi nasi dan lauknya itu dibungkus dengan daun pisang. Setiap tenong milik penduduk berbeda-beda isinya.

Ia mengatakan, untuk membuat satu tenong, dibutuhkan sedikitnya biaya hingga Rp 150 ribu. Tiap penduduk berbeda pengeluaran, tergantung dari kemampuan si pembuat tenong. Ada juga warga yang hanya membuat rujak karena tak mampu membeli nasi lengkap dengan ubo rampe nya.

Kusyati, Kepala Desa Karangjati mengatakan, penduduk desa itu berjumlah 4.332 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 1.000 orang ikut berpartisipasi. “Ada 11 ribu takir yang nantinya saling ditukar oleh penduduk,” katanya.

Takir sendiri berasal dari kata nata pikir, yang bermakna bahwa manusia dalam menjalani hidup dari tahun yang lalu perlu ditata pikirannya. Sedangkan pola pikir di tahun depannya lagi harus diperbaiki agar bisa hidup dengan tenang dan damai.

Jaya Martono, 67 tahun, tetua adat setempat mengatakan, tenongan merupakan acara sedekah bumi yang sudah dilakukan selama ratusan tahun. “Jumlah takir atau nasi bungkus dalam satu tenong harus berjumlah 12 bungkus, itu menandakan doa selama 12 bulan atau satu tahun,” katanya.

Tenongan, kata dia, dilakukan setiap hari Selasa Kliwon atau Anggara Kasih atau Jumat Kliwon dalam bulan Suro penanggalan Jawa. Menurut dia, hari itu merupakan hari yang sakral dan dilakukan secara turun temurun.

Ia menyebutkan, ada tiga doa yang dilantunkan setiap acara itu. Pertama doa Selamatan, doa Luta Lutu untuk menghindari bencana alam dan doa Nel Kinel untuk keselamatan seluruh umat manusia.

Ia menambahkan, sedekah bumi merupakan bentuk tradisi untuk berbakti kepada Sing Gawe Urip atau Tuhan. Meski dalam kondisi paceklik, mereka diharuskan untuk mengikuti sedekah bumi ini. Setidaknya menurut kepercayaan mereka.

Wakil Bupati Banjarnegara, Hadi Supeno mengatakan, tradisi leluhur tenongan harus tetap dilestarikan. “Di tengah rasa kegotongroyongan yang semakin menipis, tradisi ini harus dilanjutkan,” katanya.

Ia mengatakan, kemarau tahun ini terbilang cukup panjang. Melebihi 90 hari atau masuk kategori kemarau ekstrim. Ia berharap warganya tetap bergotong royong dalam melewati krisis tersebut.

Aris Andrianto

Tinggalkan Balasan