Pakar Hukum Unsoed Minta Presiden Tolak Kemudahan Remisi Napi Koruptor

Peristiwa804 Dilihat
Dokumentasi. (Purwokertokita.com)
Dokumentasi. (Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Rencana diberikan kemudahan remisi untuk napi koruptor melalui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Warga Binaan Pemasyarakatan (RPP Warga Binaan), menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.

Terkini, lima profesor Guru Besar Antikorupsi dari perguruan tinggi terkemuka di Indonesia mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar menolak pengesahan regulasi yang mempermudah pemberian remisi untuk koruptor.

Profesor tersebut, yakni guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD, guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho, guru besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali, guru besar Universitas Indonesia (UI) Sulistyowati Irianto dan guru besar Universitas Bosowa ’45, Marwan Mas.

Salah satu profesor yang menandatangani surat tersebut, Hibnu Nugroho mengemukakan lewat surat tersebut, Guru Besar Antikorupsi ingin mengingatkan kembali bahwa kejahatan korupsi merupakan extra ordinary crime. Dalam konteks tersebut, ia mengemukakan penindakan tindak pidana korupsi harus dilakukann secara khusus.

“Hukuman merupakan bagian dari pencegahan agar tidak terjadi (tindak pidana korupsi) di masa mendatang,” kata Guru Besar Ilmu Pidana Fakultas Hukum Unsoed ini, Senin (5/9).

Dalam RPP Warga Binaan, Hibnu mengemukakan regulasi yang terkonstruksi adalah menyamakan korupsi sebagai tindak pidana umum. “Ini merupakan pengingkaran, kalau korupsi merupakan kejahatan luar biasa,” paparnya.

Pada saat ini, kata Hibnu, ketika muncul polemik RPP Warga Binaan, dapat berakibat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum kepada koruptor akan berkurang. Lantaran, selama ini masyarakat mulai menaruh kepercayaan dan perjuangan kepada pemerintah dalam penegakan hukum tersebut.

“Sebenarnya, masih banyak pekerjaan yang lain yang harus diselesaikan elit politik seperti RUU KUHP, RUU KUHAP. Kita jangan sibuk dengan masalah yang sebenarnya sudah diterima masyarakat, dan sekarang malah muncul menjadi polemik kembali,” ujarnya.

Dikatakan Hibnu, dalam beberapa tahun terakhir, penegakan hukum terhadap koruptor sudah lentur. Kondisi tersebut diperparah dengan perilaku elit politik yang memberikan kelenturan tersebut dalam pernyataan menteri koordinator polhukham yang meminta agar koruptor jangan dipenjara dengan alasan over capacity.

“Ini kan melemahkan semangat masyarakat yang sudah mendukung penegakan hukum terhadap korupsi. Ternyata, pemerintah agak setengah hati. Karena alasan over capacity sebagai latar belakang (RPP Warga Binaan) bukan suatu halangan,” ucapnya.

Pernyataan menteri koordinator polhukham, menurutnya, bertentangan dengan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) dari total penghuni rumah tahanan dan penjara di Indonesia berjumlah 197.670 orang, hanya sebanyak 3.801 atau 1,92 persen merupakan napi koruptor.

“Berarti jumlah napi koruptor tidak banyak. Kalau isu ini dijadikan kemana-mana, tenaga kita akan habis mengurusi masalah itu terus kan,” katanya.

Tinggalkan Balasan