Purwokertokita.com – Hari ini, Selasa 26 Februari 2019, merupakan hari bersejarah bagi masyarakat Kabupaten Banjarnegara. Karena mulai hari ini, kita memiliki hari jadi yang baru. Tentu banyak masyarakat bertanya-tanya mengapa Hari Jadi Banjarnegara berganti? Mengingat biasanya Hari Jadi Banjarnegara selalu diperingati pada tanggl 22 Agustus.
Sebenarnya tak ada yang menyangkal bahwa secara de jure, Kabupaten Banjarnegara lahir tanggal 22 Agustus 1831. Hari Jadi Banjarnegara ini ditetapkan Pemkab Banjarnegara dengan Perda Nomor 3 Tahun 1994. Semangat Perda penetapan hari jadi tersebut, pada masanya lebih dimaksudkan untuk secara pragmatis membuat momen budaya dan pariwisata. Dasar penetapan tanggal, bulan dan tahun tersebut, merupakan titi mangsa penetapan RT Dipayudha IV sebagai Bupati Banjarnegara oleh Pemerintah Kolonial Belanda memalui Resolutie van den 22 Agustus 1831 No. 1, usai Java Oorlog (Perang Diponegoro) tahun 1830.
Secara ideologis, penetapan tersebut banyak digugat, karena bisa dikatakan justru momen kekalahan bangsa dan penghilangan terhadap peran trah Mangunyudho yang sangat antikolonial.
Beberapa kali diskusi digelar untuk mengkaji, meninjau dan meneliti tentang hari jadi yang lebih tepat. Paling tidak Pemkab Banjarnegara telah dua kali menggelar sarasehan hari jadi, pada tahun 2015 dan 2017. Akhirnya, DPRD Kabupaten Banjarnegara lah yang berinisiatif untuk mengajukan Raperda Hari Jadi pada tahun 2018. Setelah diadakan penelitian dan kajian berkali-kali di Pansus DPRD, barulah pada akhirnya Pansus menetapkan Hari Jadi Banjarnegara yang baru, yaitu pada tanggal 26 Februari 1571, atau 448 tahun yang lalu.
Tanggal 26 Februari 1571 menjadi patokan, atas peristiwa diwisudanya Jaka Kaiman pada 22 Februari 1571 (Hari Jadi Banyumas) oleh Sultan Pajang sebagai Adipati Wirasaba, setelah peristiwa terbunuhnya Wargohutomo akibat fitnah Demang Toyareka pada tragedi Sabtu Pahing.
Setelah Jaka Kaiman yang tidak menyangka diangkat menjadi Bupati Wirasaba menggantikan mertuanya, maka pada saat pertemuan kedua dengan Sultan Pajang pada saat Hari Raya Idul Fitri atau 1 Syawal, tepatnya pada 26 Februari 1571, Jaka Kaiman mengusulkan untuk membagi Kadipaten Wirasaba menjadi empat, yaitu Wirasaba, Kejawar, Merden dan Banjar Petambakan. Ini adalah sebuah fakta pikiran, yang bersumber dari Babad Kalibening yang dijadikan sebagai rujukan penetapan Hari Jadi Banyumas.
Maka tanggal itulah yang rasanya paling tepat dijadikan titi mangsa berdirinya Kabupaten Banjarnegara. Pada saat itu, Banjar Petambakan berturut-turut dipimpin oleh Kyai Ngabei Wiroyudho, Raden Ngabei Banyak Wide, Raden Ngabei Mangunyudho I, serta Raden Ngabei Kenthol Kertoyudho (Mangunyudho II). Artinya, jika nantinya ditetapkan secara resmi sebagai hari jadi, maka Pemkab Banjarnegara telah mengakomodir bupati-bupati Banjarnegara sebelum 1831. Hal tersebut tentu saja sangat memuaskan bagi warga Banjar Kulon maupun Petambakan yang merasa akar sejarahnya diakui oleh Pemkab Banjarnegara.
Hal ini wajar, mengingat selama ini seolah bupati yang diakui eksistensinya adalah Dipayudha IV ke atas atau sejak 22 Agustus 1831, yang nota bene mewakili masa Banjarnegara di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda secara langsung. Padahal dari tinjauan nasionalisme, bupati-bupati sebelum tahun 1831 justru sangat kental nasionalismenya.
Ada paling tidak dua hal yang dapat kita petik dari perayaan hari jadi yang baru ini. Pertama, kita ingin menanamkan sikap kerelaan berbagi. Jaka Kaiman telah memberikan contoh kerelaan hati untuk berbagi kekuasaan. Suatu hal yang sangat sulit kita temui saat ini dimana kekuasaan justru menjadi ajang perebutan yang kadang berlangsung keras dan kasar.
Kedua, dengan hari jadi yang baru ini, harapannya mampu mengakomodir dan mengokohkan eksistensi semua pendahulu Banjarnegara. Banjarnegara tidak hanya muncul tiba-tiba pada tahun 1831, namun telah ada, telah eksis sejak tahun 1571.
Artinya, ini adalah momen kebersamaan untuk menyatukan trah dari Banjar Petambakan, Banjar Kulon atau Banjar Watu Lembu dan Banjarnegara saat ini. Dengan hari jadi yang baru ini, harapannya semakin mengokohkan persatuan dan kesatuan kita sebagai warga Banjarnegara untuk membangun Banjarnegara yang bermartabat dan sejahtera pada masa kini dan masa yang akan datang.
Penulis
Heni Purwono, S.Pd. M.Pd.
Ketua Umum Yayasan Sahabat Muda Indonesia (YSMI), Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah SMA Kabupaten Banjarnegara, Pengurus Pusat Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI).