Purwokertokita.com – Dua film pelajar Purbalingga yang mengangkat tema berlatar korban ’65 berhasil mendapatkan penghargaan di Festival Film Purbalingga (FFP) 2016.
Film-film yang diproduksi pelajar SMA Negeri Rembang Purbalingga itu meraih tiga kategori sekaligus saat di malam penghargaan, Sabtu, 28 Mei 2016 yang digelar di Gelanggang Olah Raga (GOR) Mahesa Jenar Purbalingga.
Karya film fiksi bertajuk “Izinkan Saya Menikahinya” yang dibesut Raeza Raenaldy Sutrimo berhasil meraih film fiksi SMA terbaik, sekaligus film fiksi SMA favorit penonton. Film berdurasi 10 menit tersebut menyisihkan lima film pesaing.
Raeza mengatakan, selama produksi tidak didukung pihak sekolah. Namun, karyanya ternyata mampu menjadi yang terbaik di FFP 2016. “Senang tapi sedih juga, karena sebagai ekstrakurikuler resmi di sekolah tapi tidak mendapat perhatian,” ujar siswa yang kini duduk di kelas XI.
Film yang diproduksi Gerilya Pak Dirman Film ini menceritakan kasih asmara seorang tentara bernama Suryono yang akan menikahi seorang bidan, Suryati. Namun, masalah muncul karena kakek Suryati adalah mantan tahanan politik (eks-tapol), sehingga atasan Suryono tak mengizinkan mereka menikah.
Menurut salah satu juri fiksi, Agustav Triono, ada lompatan tema yang signifikan di sepanjang sejarah penyelenggaraan FFP. “Kami melihat keberanian pelajar mengangkat persoalan politik nasional menjadi salah satu penanda perkembangan wacana film pelajar di Banyumas,” jelas pegiat sastra dan teater Purbalingga.
Kemudian di kategori kompetisi dokumenter SMA, film bertajuk “Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!” sutradara Ilman Nafai siswa SMA Negeri Rembang Purbalingga menjadi film dokumenter SMA terbaik. Film ini menampilkan kisah tiga mantan pasukan Cakrabirawa semasa hidupnya.
“Sebelum membuat karya fiksi, kami produksi dokumenter dulu. Dan dari awal memang sudah tidak didukung sekolah karena takut dengan konten film yang kami produksi. Hak kami mendapatkan dana produksi tidak turun. Bahkan, setelah film jadi, kami sempat didatangi pihak Kodim Purbalingga,” terang Ilman yang masih duduk di kelas X.
Dewan juri menilai, film ini mengisi film yang selama ini kurang digali dari sebuah isu sensitif tentang korban 65, yakni dari sisi Cakrabirawa. “Film ini menambah teori baru seputar sejarah 65, terutama melihat referensi yang selama ini ada,” ujar dosen Fakultas Ilmu Budaya Unsoed, Muhammad Taufiqurrohman.
Sementara, untuk kategori dokumenter SMA favorit penonton, film “Galian C” karya sutradara Wely Alfian dari Papringan Pictures ekskul sinematografi SMA Negeri Kutasari Purbalingga menjadi favorit pilihan penonton.
Pada Kategori kompetisi fiksi SMP, programer tidak merekomendasi film yang masuk untuk dinilai juri. Namun, ada satu film berjudul “Mangkat Sekolah” sutradara Sugeng Setiadi dari SMP Muhammadiyah Sinematografi Sokaraja, Banyumas mendapat Penghargaan Khusus.
Penghargaan Lintang Kemukus, yaitu penghargaan kepada seniman tradisi di Banyumas Raya yang secara nyata berkontribusi atas kesenian dan kebudayaan, diberikan kepada pegiat budaya Jawa dari Cilacap Muslam Guno Waseso.
Penghargaan lain berupa penulisan cerita terbaik tema “Buruh Migran” hasil workshop penulisan skenario bekerja sama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Pemenang pertama diraih Eko Febri Prasetyo dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto dan Eko Junianto siswa SMA Negeri Bobotsari Purbalingga.
Direktur FFP Bowo Leksono mengatakan, sempat ada sedikit persoalan dalam perjalanan FFP 2016 selama sebulan yaitu pembubaran pemutaran film oleh organisasi massa. “Ini merupakan awal kami mengawal film-film pemenang FFP 2016 dan film-film lain ke pemutaran dan festival-festival di luar Purbalingga,” ucapnya.