Purwokertokita.com – Hall Hotel Kencana Purbalingga tiba-tiba senyap. Ruangan pun menjadi gelap. Layar terkembang dan film Kami hanya menjalankan perintah, jenderal! Mulai diputar.
Di tengah pemutaran film, ada bisik-bisik di antara penonton. Menanyakan judul film yang sedang diputar.
“Ini film apa?” tanya salah seorang berambut cepak dengan tubuh gagahnya kepada Kukuh Sukmana, penonton yang lain. Kukuh pun menjawab,”Ini judulnya Kami hanya menjalankan perintah, jenderal,” ujar Kukuh menjawab.
Film pun usai. Sepuluh detik jeda, film kedua pun diputar. Kembali penonton berambut cepak menanyakan kepada kukuh tentang judul film. “Judulnya, Pulau Buru Tanah Air Beta,” kembali Kukuh menjawab pertanyaan penonton yang duduk di sampingnya.
Tak berapa lama, penonton berambut cepak itu ke luar ruangan bergabung dengan teman-temannya di luar hotel yang sudah bergerombol sejak siang. Demo menentang pemutaran film Pulau Buru itu pun pecah, Jumat (27/5).
Belasan orang yang menamakan diri Aliansi Pemuda Pancasila Purbalingga mencoba merangsek masuk area pemutaran. Namun dengan pagar manusia, puluhan aparat Kepolisian Resor Purbalingga menahan laju mereka.
Tak ingin penonton yang sebagian besar pelajar dan mahasiswa terluka, panitia menghentikan pemutaran yang sudah berjalan sekitar 10 menit. Mereka pun bernegosiasi dengan pendemo.
Sambil meneriakkan yel-yel, mereka memaksa panitia menghentikan pemutaran. “Hentikan pemutaran, karena itu adalah film propaganda komunis,” kata salah seorang dari kerumunan massa.
Meski massa mendorong polisi, mereka kalah jumlah sehingga tak bisa masuk area pemutaran. Direktur Festival Film Purbalingga, Bowo Leksono mewakili panitia mencoba mengajak massa untuk menonton film tersebut. Namun massa aliansi menolak. “Apa alasan kalian menolak, wong kalian belum nonton filmnya,” ujar Bowo mencoba bernegosiasi.
Heri Warsito, Koordinator aksi menjawab tak perlu ada alasan untuk menolak diajak pemutaran film itu. “Film Buru hanya akan membuka masa lalu, kenapa tidak putar film yang lain,” katanya.
Bowo mengingatkan bahwa aksi mereka bisa menakut-nakuti pelajar Purbalingga untk berkarya membuat film. Sudah 10 tahun Festival Film Purbalingga digelar, puluhan penghargaan film nasional sudah diraih pelajar itu.
Menjawab kekhawatiran Bowo, Heri mengatakan bahwa tugas pelajar adalah belajar, belajar dan belajar. Polisi pun mencoba menengahi dengan meminta 10 orang perwakilan pendemo masuk dan ikut menonton filmnya. Tapi permintaan itu ditolak massa aliansi.
Setelah negosiasi, akhirnya panitia sepakat untuk tidak memutar Film Pulau Buru. Tapi, syaratnya pendemo harus menonton dua film karya pelajar Purbalingga. Mereka pun sepakat dan mau masuk ke ruang pemutaran film.
Film pertama yang diputar berjudul Izinkan Saya Menikahinya. Sebuah film fiksi pendek besutan sutradara pelajar Raeza Raenaldy Sutrimo, pelajar SMAN 1 Rembang.
Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini berkisah tentang batalnya pernikahan antara Suryati dan Suryono. Mereka sudah pacaran sejak SMA. Singkat kata Suryono masuk tentara.
Pernikahan mereka gagal karena Suryono dilarang atasannya dengan alasan bahwa kakek Suryati adalah mantan tahanan politik. Hal itu tertera jelas dalam KTP milik kakek Suryati. “Kamu bisa mati-matian membela negara. Tapi tidak bisa membela janjimu sendiri untuk menikahi aku,” demikian salah satu petikan dialog dalam film itu.
Film kedua yang diputar yakni Kami hanya menjalankan perintah, jenderal. Sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Ilman Nafai, pelajar SMA N 1 Rembang.
Film ini berisi tentang kesaksian tiga mantan anggota pengawal presiden Cakrabirawa pada saat malam kejadian peristiwa 65. Saat itu mereka mendapat tugas dari Letkol Untung untuk menjemput tujuh jenderal dan akan dibawa ke Lubang Buaya.
Sebagai bawahan mereka tak bisa menolak perintah atasannya. Dalam salah satu adegan digambarkan bagaimana putri Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani terkena peluru nyasar saat salah satu anggota pasukan Cakrabirawa menembak pintu yang dikunci Nasution.
Selama ini digambarkan dalam Film G 30 S/PKI besutan sutrada Arifin C Noer, Ade Irma Suryani ditembak secara langsung dan membabi buta. “Gendeng apa kami nembak anak kecil seperti itu,” ujar salah satu mantan Cakrabirawa di salah satu adegan film.
Ilman Nafai, di sela-sela acara mengatakan, film itu diproduksi selama satu bulan mulai dari riset hingga pasca produksi. Awalnya agak sulit meyakinkan tiga narasumber, namun akhirnya dia berhasil.
Berdasarkan riset yang dilakukannya, banyak mantan Cakrabirawa yang berdomisili di Purbalingga. Rata-rata sudah meninggal dunia atau menghapus jejaknya. “Yang paling berat menghadapi intimidasi dari pihak luar saat membuat film ini hingga sekarang,” ujar Ilman yang saat ini masih duduk di bangku kelas 1 SMA.
Kembali ke soal pemutaran film. Setelah menonton film pertama, pendemo pun menonton film kedua. Namun di tengah film, seluruh pendemo ke luar ruangan. “Kami tidak bisa merokok karena ruangan ber-AC,” ujar pendemo sambil meninggalkan ruangan.
Bowo pun kesal karena komitmen untuk menonton dua film karya pelajar ini dan dilanjut diskusi tidak ditepati para pendemo. “Kalau sudah pakai jargon pokoknya tanpa mau dialog ya seperti ini,” kata Bowo.
Programmer FFP 2016, Dimas Jayasrana mengemukakan, penghentian paksa pemutaran film ‘Pulau Buru Tanah Air Beta’ baru pertama terjadi dalam festival film di Indonesia.
“Kami menilai ini bukan soal menang atau kalah, tetapi kami sudah berusaha. Dan ternyata, jika di belahan dunia lain sudah berbicara bagaimana cara membuat kereta cepat yang bisa menempuh jarak jauh, di sini kita masih diributkan soal seperti ini,” lanjut Dimas.
Dimas menambahkan, film karya sutradara Rahung Nasution itu bukan yang pertama atau yang terakhir, untuk menggambarkan konflik pada 1965. Dia menyebut ada beberapa film terdahulu, seperti ‘Mass Grave’ karya Lexy J. Rambadeta, menggambarkan penggalian kuburan massal orang-orang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia di Jawa Tengah.
“Dalam konteks di sini, kami tidak membela film Rahung, tetapi kami membela akal sehat,” ujar Dimas.
Apresiasi untuk Kepolisian
Berbeda dengan tempat lain, Polres Purbalingga justeru mengamankan jalannya acara dari gangguan ormas. Keputusan jadi tidaknya diputar film itu diserahkan kepada panitia. “Kami tidak ada urusan dengan konten film, itu urusan orang-orang film. Tugas kami hanya mengamankan,” kata Kepala Kepolisian Resor Purbalingga, Jawa Tengah, Agus Setyawan Heru Purnomo
Dia menjelaskan, posisi polisi adalah mencegah terjadinya gangguan keamanan. Itulah mengapa ia menganjurkan agar panitia Festival Film Purbalingga (FFP) 2016 mendiskusikan konten film pulau buru ke kelompok yang menolak. Ia juga mengaku hanya fokus pada upaya pencegahan konflik antar kelompok.
Dia mengungkap hingga saat ini belum menelaah apakah Film Pulau Buru berisi propaganda komunis seperti yang dituduhkan oleh kelompok intoleran. Namun, ia siap jika diajak berdiskusi oleh penyelenggara FFP 2016 dan kalangan film.
“Semua bisa dikomunikasikan, yang penting aman,” ujarnya tegas.
Setelah pemutaran tersebut, Bowo Leksono berencana akan memutar di tempat lain namun terlebih dahulu akan berkomunikasi dengan sutradara film. “Komunitas Gusdurian Purwokerto dan sejumlah dosen Unsoed siap menjadi tuan rumah,” katanya.
Berikut ini adalah video kronologis penolakan ormas terhadap pemutaran Film Pulau Buru Tanah Air Beta.