Purwokertokita.com – Pelestarian budaya bagi masyarakat Banyumas, nampaknya tidak hanya sekedar melanggengkan kesenian dan artefak kebudayaan bangunan saja. Namun, pelestarian kuliner yang diturunkan dari generasi terdahulu juga menjadi bagian dari mempertahankan identitas masyarakat Banyumas.
Identitas tersebut nampak jelas dalam panganan khas yang kini sudah menjadi daya tarik tak terpisahkan, saat mengunjungi daerah Kota Lama Banyumas. Nopia, begitu nama kuliner berupa kue kering yang masih lestari dalam masyarakat Banyumas di wilayah Kecamatan Banyumas, Banyumas.
Kue yang bertekstur kulit seperti cangkang dibagian luar dengan rasanya yang renyah, dan didalamnya berisi adonan gula merah berbagai rasa sesuai selera, menjadikannya salah satu oleh-oleh khas Banyumas yang kerap ditemui di warung hingga supermarket.
Awalnya nopia hampir tidak memiliki varian rasa, kecuali rasa bawang merah goreng. Namun seiring perkembangan zaman, variasi rasa nopia bisa disesuaikan dengan selera penikmatnya, seperti durian, coklat, nangka, dan lain-lainnya.
Dalam pembuatannya, kulit nopia dibuat dari adonan tepung yang dibentuk bulat. Adonan tersebut kemudian ditempelken ke dinding tungku dalam suhu hingga 90 derajat celcius dan didiamkan selama beberapa waktu. Setelah terlihat mengembang kemudian diangkat dan jadilah nopia unik makanan khas Banyumas.
Tempat pemanggangan nopia merupakan tungku khusus yang terbuat dari tanah liat dan menggunakan kayu bakar dari pelepah pohon kelapa. Pemanggang tersebut biasanya mampu menampung puluhan nopia. Kue nopia yang berbentuk mirip telur angsa ini akrab dijajakan di atas kereta. Harganya pun bervariasi mulai Rp 7.500 hingga Rp 15.000 per bungkus.
Pada awalnya, nopia dipopulerkan keluarga keturunan Tionghoa di daerah Banyumas sekitar tahun 1880. Keberadaan kue kering mirip pia tersebut, hadir dalam satu ruang tatanan masyarakat tanpa mengenal perbedaan etnik di kalangan masyarakat Banyumas.
Sampai kini jejak keberadaan industri kecil pembuatan kue nopia dengan mudah ditemui di kawasan Kota Lama Banyumas, mulai dari Jalan Mruyung Desa Sudagaran hingga Desa Pakunden dan Kalisube Kecamatan Banyumas. Bahkan kue tersebut pun juga dibuat varian yang berbeda dalam ukurannya. Saat ini, banyak nopia yang diproduksi dalam bentuk mini atau dikenal dengan nopia mino.
Produksi kue kering ini tidak hanya dimonopoli warga Tionghoa, tetapi juga dilakukan orang asli Banyumas. Warga Banyumas asli yang memroduksi nopia mengakui kemahirannya tersebut diturunkan dari dua generasi diatasnya.
Bahkan, industri mino nopia tersebut pernah mengangkat perekonomian desa. “Dulu setiap rumah di Desa Pakunden pasti membuat mino nopia,” kata salah satu pemilik usaha mino nopia asal Desa Pakunden, Harun Tahrif, beberapa waktu lalu.
Geliat ini pula yang kemudian menyemangati masyarakat Banyumas untuk bersama melestarikan panganan khas kue kering ini. Walau bukan karya asli nenek moyang Banyumas, Nopia masih tetap akan melekat dan menjadi ciri khas Banyumas.
Uwin Chandra