Sudiyanto dan Pompa Air Tanpa Listrik

Ragam251 Dilihat
Sudiyanto, 45 tahun, warga Desa Kotayasa Sumbang Banyumas yang menemukan pompa hydram, pompa air tenaga air. Pompa ini bisa mengalirkan dari dataran rendah ke dataran yang lebih tinggi hingga ratusan meter tanpa menggunakan listrik. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Sudiyanto, 45 tahun, warga Desa Kotayasa Sumbang Banyumas yang menemukan pompa hydram, pompa air tenaga air. Pompa ini bisa mengalirkan dari dataran rendah ke dataran yang lebih tinggi hingga ratusan meter tanpa menggunakan listrik. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Ada banyak manusia hebat dari Banyumas. Mereka kreatif dan menginspirasi. Bahwa pada akhirnya mereka mencapai kesuksesan, tidak pernah lepas dari proses yang menyakitkan. Gagal berulang-ulang. Dicemooh, ada yang nyinyir dan dianggap gila.

Berikut adalah kisah tentang Sudiyanto. Sang penemu pompa air tanpa listrik. Ia adalah satu dari sekian kisah sukses yang Purwokertokita.com sajikan untuk anda pembaca setia.

Hujan turun dengan derasnya. Di sebuah desa paling atas di lereng Gunung Slamet itu, air seperti tumpah dari langit. Deras mengalir hingga jauh. Meluncur sampai anak-anak sungai yang terjalin hingga muaranya yang terakhir, Samudera Indonesia. “Air di sini hanya numpang lewat, tak bisa dimanfaatkan oleh warga sini,” ujar Sudiyanto, 45 tahun, warga Grumbul Glempang, Desa Kotayasa, Kecamatan Sumbang, Banyumas.

Rumahnya berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Meski berada di pegunungan, dan air cukup melimpah, ia dan ribuan penduduk lainnya tak bisa memanfaatkan air itu.

Meski sudah digali hingga belasan meter, air sumur tak bisa keluar di daerah itu. Setiap menggali sumur, ia selalu mendapati bebatuan besar sisa vulkanik menghalangi cangkulnya. Alhasil, tak ada sumur di desa itu.

Penduduk pun terpaksa pergi ke sumber mata air yang banyak terdapat di desa itu. Hanya saja letaknya cukup jauh dan berada di bawah desa. Prihatin dengan kondisi itu, Sudiyanto pun berpikir keras agar bisa mengalirkan air di sungai yang ada di daerah yang lebih rendah ke desanya. “Inspirasi itu muncul pada suatu sore di akhir Mei 1998,” kata dia membuka kembali memori masa lalunya.

Sambil ngemil kacang goreng yang tersisa setengah toples itu, Sudiyanto menceritakan kisahnya tentang upaya membuat pompa air tenaga air atau yang dikenal dengan hydram. Inspirasinya ia dapatkan dari buku koleksi perpustakaan desa, tak sengaja ia menemukan sebuah buku berjudul, Pompa Air Tenaga Air.

Pompa air dalam buku tersebut mengadopsi teknologi Belanda. Yanto, begitu Sudiyanto biasa disapa, tergerak untuk membuat pompa air yang ada di buku tersebut.

Dalam buku tersebut, air yang dipompa hanya bisa naik setinggi 7 meter. Padahal jarak antara sumber mata air dengan perkampungan penduduk di tempat tersebut lebih dari seratusan meter. Namun Yanto tak menyerah. Dengan modal seadanya, ia tetap melanjutkan proyek tersebut.

Untuk mengatasi kekurangan modal, ia meminjam uang Rp 5 juta dari saudara-saudaranya. Uang tersebut diperolehnya dari Narkum sebesar Rp 2,5 juta, hasil dari menjual Padi. Sedangkan sisanya diperoleh dari kakaknya yang lain, Warno, dari hasil menjual cengkeh.

Dari uang tersebut, ia gunakan untuk membeli pipa dan perlengkapan lainnya. Awal percobaannya, langsung gagal. Air tak bisa naik. Namun, ia tak putus asa.

Dicobanya lagi alat tersebut, kali ini berhasil. Air bisa naik hingga ketinggian 18 meter. Total percobaanya hingga ketinggian 18 meter, ia gagal sebanyak 10 kali.

Setelah gagal 10 kali, tepatnya bulan September 1999, sebuah ketidaksengajaan percobaan membuahkan hasil. Hydram buatannya tak sengaja bocor. “Sebenarnya itu sebuah kecelakaan,” kata Yanto.

Namun dari bocornya Hydram tersebut, air yang mengalir justru semakin besar. Lantas ia pun membuat modifikasi lagi. Hydram ia sengaja bocorkan dengan membuat lubang dari sebuah paku.

Sadar air yang mengalir semakin deras, ia pun membuat sambungan air dengan pipa hingga depan rumahnya. Jarak antara sumber air dengan rumahnya sendiri sekitar 315 meter. “Saya langsung berteriak seperti orang gila, ternyata percobaan saya tak sia-sia,” kata dia sambil terus membuka kulit kacang.

Akhirnya, setelah dua tahun ia melakukan percobaan tersebut, usahanya berhasil. Awalnya, ia hanya menggunakan air tersebut untuk keluarganya. Setelah itu, tetangganya yang dulu mencemoohnya ikut menikmati air tersebut.

Bahkan, ia membangun sebuah bak penampungan yang bisa digunakan warga untuk memperoleh air. Bak tersebut sangat berguna bagi warga saat kemarau datang.

Sudiyanto, 45 tahun, warga Desa Kotayasa Sumbang Banyumas yang menemukan pompa hydram, pompa air tenaga air. Pompa ini bisa mengalirkan dari dataran rendah ke dataran yang lebih tinggi hingga ratusan meter tanpa menggunakan listrik. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Sudiyanto, 45 tahun, warga Desa Kotayasa Sumbang Banyumas yang menemukan pompa hydram, pompa air tenaga air. Pompa ini bisa mengalirkan dari dataran rendah ke dataran yang lebih tinggi hingga ratusan meter tanpa menggunakan listrik. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Selain itu, setiap mengambil air di sumber air, mereka harus ngantri selama satu jam. Padahal, di desa tersebut hanya ada 3 mata air yang digunakan oleh ratusan warga.

Niatan Yanto untuk mengatasi kesulitan air bukannya tanpa cobaan. Banyak cemoohan yang ia dapat. Terutama dari tetangganya. “Mereka menyebut saya gila,” ujarnya.

Bahkan ada yang mau meminum air kencing Yanto, jika percobaan itu berhasil. Selain cemoohan tetangga, ia juga dihadapkan pada cerita mistik yang beredar di kalangan tetangga. Sebabnya, warga setempat meyakini kalau air sumber yang digunakan Yanto mempunyai tuah jelek.

Barangsiapa meminum air dari sumber yang dinamakan Tuk Begu, maka orang tersebut bisa kehilangan suaranya dan tak bisa berbicara. Begu dalam bahasa Indonesia berarti, tak bisa berbicara.

Yanto tak patah arang. Dengan bantuan tetua adat setempat yang bernama Sandireja, warga pun percaya kalau air sumber tersebut boleh digunakan. “Saya harus berpura-pura bertapa dengan Sandirejo di tempat tersebut agar warga percaya,” ujarnya.

Selain bertapa. Yanto juga membeli sebuah cincin yang dibuang di tempat tersebut. Hal itu ia lakukan agar warga benar-benar percaya kalau air tersebut bisa dikonsumsi.

Selang beberapa tahun, tepatnya tahun 2005, air sumber yang sekarang dinamakan tuk Sladan, dibeli oleh Yanto. Yanto membelinya dari Partinah pemilik tanah tersebut. Uang untuk membeli tanah Partinah berasal dari hadiah kompetsi IDM yang diikutinya sebesar Rp 200 juta.

Saat ini ia memimpin sebuah paguyuban di desanya yang diberi nama, Paguyuban Masyarakat Pendamba Air Bersih. Anggotanya sudah mencapai 900 orang. Setiap bulannya, setiap anggota ditarik iuran Rp 2.500 untuk biaya pemeliharaan Hydram. Tentu jauh dari tarif berlangganan PDAM.

Tinggalkan Balasan