Perpaduan Jawa-Sunda dan Pesan Keberagaman dalam Wayang Golek Gagrak Tjlatjapan

Ragam265 Dilihat
Bambang Hadi Siswoyo (50) tengah menyelesaikan pembuatan wayang golek gagrak tjlatjapan di samping rumahnya di Wanareja, Cilacap, Jumat (16/11). (AAR/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, ungkapan ini mungkin tepat menggambarkan Bambang Hadi Siswoyo (50), pembuat wayang golek di Wanareja, Cilacap yang sejak usia belia sudah terbiasa memotong-motong kayu albasia atau pule sebagai bahan membuat wayang golek.

Jemarinya terampil menggunakan pisau kecil untuk mengukir mahkota, mata, telinga dan detail-detail lain wayang golek.

Darah seni Hadi, panggilan karibnya, berasal dari kakek dan ayahnya. Kakeknya, Sumardjo, adalah dalang wayang golek di Wanareja. Sedang bapaknya, Sunardjo, adalah seorang penganyam kerajinan bambu.

Hadi yang sehari-hari berprofesi menjadi guru di salah satu SLTA di Wanareja, kini tengah mengkreasiakan wayang golek gagrak tjlatjapan. Wayang ini memadukan unsur kultural Jawa Cilacapan dan Sunda.

Secara kultural, Hadi dibesarkan di wilayah Wanareja yang terletak pada batas daerah kebudayaan Jawa dengan Sunda. Secara administratif Wanareja termasuk bagian dari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Namun pergaulan sehari-hari juga kesenian rakyat di lingkungan ini lebih lekat dengan budaya sunda.

Di masa kanak, Hadi masih mengingat, kerap diajak sang kakek menonton pertunjukan wayang golek purwa yang mempergunakan bahasa Sunda di wilayah Wanareja. Tapi di sisi lain, ia juga mengenal wayang kulit yang populer di Jawa Tengah dan dimainkan dalam bahasa Jawa.

Dua kenangan itu, memantik minatnya untuk mengembangkan wayang golek sebagai ciri Sunda yang dipadukan dengan detail-detail ukiran Jawa Tengah.

Menurut Hadi, di wilayah Cilacap Barat ini punya kekayaan tersendiri, perpaduan Jawa Tengah dan Sunda.

“Sejak tahun 1995 saya resah, Cilacap harus punya karakter sendiri di karya seni. Saya mulai membuat wayang golek gagrak tjlatjapan yang wajahnya berkarakter sunda tapi ukiran di mahkota dan aksesori mewakili Jawa Tengah,” kata Hadi ketika ditemui di rumahnya, Jumat (16/11).

Idenya ini dia kembangkan dalam wayang berukuran standar 60 cm. Agar wayang golek itu benar-benar seakan-akan hidup, ia membuat desain dimana mata, mulut dan leher wayang dapat digerak-gerakkan oleh sang dalang.

Sejauh ini, Hadi sudah membuat sejumlah wayang yang figurnya dari epos Mahabharata dan Ramayana. Selain itu ia membuat tokoh Semar, figur tambahan yang bersifat Jawa, dan Cepot figur dari pewayangan Sunda yang identik dengan anak Semar yakni Bagong.

Hadi berpendapat, wayang golek buatannya setidaknya dapat digunakan untuk menyampaikan makna-makna keberagaman.

“Wayang identik dengan muatan filosofi yang tinggi. Setiap tokoh wayang memuat filosofi hidup tertentu. Di Cilacap ini, kekayaan multikultural juga bisa disampaikan dalam wayang,” ucapnya.

Hadi mengungkapkan, secara sosial Wanareja atau wilayah Cilacap Barat bisa jadi gambaran tentang warga sipil yang menolak tinggal dalam sebuah lingkungan kesamaan warna kulit, ras atau suku.

“Warga baik Jawa atau Sunda saling berbaur membiarkan satu sama lain saling menyerap. Pembauran ini adalah kekayaan multikultural juga jejak bagi pluralisme,” tambahnya.

Kekayaan multikultural inilah yang membuat Hadi mendedikasikan kemampuannya dalam teknik pembuatan wayang golek gagrak tjlatjapan. Dia memadukan dua unsur budaya yang berbaur di wilayah tempat ia tinggal. (AAR/YS)

Tinggalkan Balasan