Manfaat Ciu untuk Dunia Medis (Bagian 3)

Lingkungan, Ragam821 Dilihat
Hasil destilasi siap dikonsumsi. Perajin ciu, minuman keras lokal asal Desa Wlahar Kecamatan Wangon Banyumas, sedang memproses gula kelapa dan tape singkong menjadi ciu. Perajin membuatnya secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan aparat kepolisian. Harga ciu di pasaran bervariasi mulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 40 ribu per liter, tergantung kadar alkohol yang dihasilkan. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)
Hasil destilasi siap dikonsumsi. Perajin ciu, minuman keras lokal asal Desa Wlahar Kecamatan Wangon Banyumas, sedang memproses gula kelapa dan tape singkong menjadi ciu. Perajin membuatnya secara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan aparat kepolisian. Harga ciu di pasaran bervariasi mulai dari Rp 15 ribu hingga Rp 40 ribu per liter, tergantung kadar alkohol yang dihasilkan. (Aris Andrianto/Purwokertokita.com)

Purwokertokita.com – Madari, 60 tahun, mengatakan ia sudah puluhan tahun, menggeluti pekerjaan sebagai perajin ciu tradisional. Bahkan, katanya, kakeknya dulu pun menjadi perajin tersebut dan telah memulainya sejak zaman penjajahan Belanda. “Umur kerajinan ciu di sini, lebih tua dibandingkan dengan usia saya sekarang,” ujarnya.

Baginya, meski sembunyi-sembunyi, hasil kerajinan itulah yang nyata-nyata memberikan penghasilan. Ciu hasil dari Desa Wlahar masih tetap diminati oleh pembeli, meski dia mengaku tidak tahu pembeli yang datang ke tempatnya menjual ke mana. “Biasanya pembeli yang datang ke sini sudah saling kenal. Begitu datang, langsung masuk dan tidak berapa lama pergi lagi. Yang penting tidak diminum di sini, itu syarat utamanya. Jangan sampai kami juga kena masalah,” katanya.

Dalam sehari, dia mampu membuat ciu sebanyak 30-40 liter dengan kadar alkohol sekitar 40-50 persen. Makanya tidak heran, jika mengecap saja, di mulut langsung terasa panas. Pembelinya tidak hanya berasal dari Banyumas, melainkan juga dari Wonosobo dan Cilacap. Dengan menggeluti pembuatan ciu tersebut, dia mendapatkan hasil Rp 400 ribu per hari. Sebuah hasil yang sangat menggiurkan bagi warga desa Wlahar.

Menurut Pratiwi, salah satu Mahasiswa Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman yang pernah meneliti pembuatan ciu di Desa Wlahar mengatakan, Ciu Banyumas adalah contoh produk fermentasi alkohol tradisional dengan bahan dasar tape singkong, tape ketan, gula Jawa dan laru (sisa destilasi ciu). “Saya hanya ingin meneliti untuk mengetahui mikroba yang berperan dalam proses fermentasi ciu Banyumas,” katanya.

Berdasarkan hasil penelitiannya, kata dia, mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi ciu Banyumas berasal dari golongan yeast, bakteri asam laktat (BAL) dan bakteri asam asetat (BAA), Zymomonas dan Micrococcus. Kapang dari genus Aspergillus hanya diperoleh dari ragi dan tidak ditemukan pada tape singkong maupun substrat fermentasi ciu Banyumas.

Saccharomyces cerevisiae merupakan satu-satunya yeast yang terdapat pada ragi Matahari Cakra, tape singkong dan substrat ciu. BAL yang didapat dari ragi, tape singkong dan substrat ciu Banyumas adalah Enterococcus, Brochothrix, Lactobacillus, Pediococcus, Leuconostoc, Listeria, Saccharococcus dan Streptococcus.

Kepala Desa Wlahar, Jasmin mengatakan, perajin ciu di desanya mencapai 400 orang dari 1.000 kepala keluarga. “Hampir semua warga di sini merupakan perajin ciu,” katanya.

Selain Desa Wlahar, desa lainnya yang juga membuat ciu yakni Windunegara dan Cikakak. Ketiga desa tersebut dikenal dengan istilah segitiga emas produsen ciu.

Ia berharap pemerintah melegalkan ciu dan membantu pengemasan agar bisa dijual bebas. Menurutnya, ciu Banyumas tak kalah kualitasnya dibandingkan dengan minuman keras produk impor. “Hampir sama dengan Excelsior atau bir Jerman,” katanya.

Selain untuk diminum, saat ini ia tengah menjajaki penjualan ciu untuk kepentingan medis. Selain bisa dijual ke rumah sakit, ciu juga bisa dimanfaatkan oleh sinse untuk pengobatan tradisional.

Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas Deskart Sotyo Jatmiko mengatakan, ciu dengan kadar ethanol 40 persen dari desa tersebut bisa menghasilkan 30 ribu liter ethanol tiap bulannya. Jika sudah menjadi ethanol, Djatmiko mengaku pasarnya cukup luas. “Ethanol dengan kadar 70 persen, biasa dipakai di rumah sakit atau laboratorium sebagai desinfektan,” katanya.

Sedangkan kadar 99,5 persen bisa dijadikan untuk campuran bensin. Termasuk dunia industri yang juga biasa menggunakan bahan baku ethanol sebagai bahan pelarut dan bahan baku lainnya.

Untuk merubah ciu menjadi bahan energi alternatif lainnya dibutuhkan peran serta pemerintah setempat. “Mereka bisa menyuplai dan mencukupi kebutuhan alkohol di 11 rumah sakit yang ada di Banyumas,” ujarnya.

Djatmiko mengatakan pihaknya sedang mengupayakan disediakannya teknologi terapan yang lebih murah. Menurutnya, selama ini peralatan yang digunakan masih sangat sederhana. “Biaya produksi berkisar Rp 6-7 ribu. Kalau teknologinya sudah ada mungkin bisa lebih murah,” kata dia menambahkan.

Tinggalkan Balasan