Purwokertokita.com – Dulu saya punya adik-adik kelas yang doyan banget minum ciu. Mereka masih mahasiswa. Bacaannya buku-buku kiri. Kalau mengepalkan tangan juga yang kiri. Bagi mereka, minum ciu merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme minuman keras. Mungkin sebuah pembenaran untuk kondisi yang dinamakan, kere akut.
Di kalangan mahasiswa, ciu merupakan minuman yang cukup digemari. Mahalnya minuman keras berlabel, menjadi salah satu pemicunya. Merasa tak mampu masuk ke pub yang menjual minuman keras, mereka lebih memilih ciu yang harganya cukup terjangkau. “Biasanya malam minggu, kalau sedang ngumpul bersama teman-teman,” kata Febri, salah satu mahasiswa dari perguruan tinggi di Purwokerto.
Ia biasa mendapatkan ciu dari salah satu penjual yang biasa beroperasi di dekat kampusnya. Dibandingkan dengan membeli minuman beralkohol impor, ia lebih memilih ciu karena kualitasnya tidak jauh beda.
Bagi peminum ideologis, menenggak ciu bukan hanya sekedar gaya hidup. “Tapi ini perlawanan terhadap hegemoni barat atas maraknya produk minuman keras yang beredar di Indonesia,” kata salah satu anggota komunitas Ciu Penghangat Suasana yang namanya tidak mau disebutkan.
Menurut dia, minuman keras lokal seperti Ciu Bekonang, Ciu Banyumas dan Arak Bali merupakan tradisi bangsa yang harus dilestarikan. Budaya minum ciu, kata dia, bukan sekedar untuk hura-hura dan mabuk-mabukan, tapi untuk meningkatkan solidaritas.
Keberadaan ciu juga sering terdeteksi di acara-acara panggung rakyat, semacam dangdutan, ebeg, lengger dan kesenian tradisional lainnya. “Biasanya ada yang rese, mabuk-mabukan dan mengganggu yang lain,” ujar Remo, fans berat kuda lumping.
Remo biasa mendampingi anak buahnya jika ada tontonan kuda lumping. Jika ada anak buahnya yang trans atau kemasukan jin, ia yang bertugas menjaganya.
Kadang, kata dia, ada anak yang sengaja minum ciu hanya untuk gagah-gagahan dan pura-pura trans atau wuru. Anak-anak seperti itulah yang pada akhirnya akan membuat keributan.